Hukum dan Politik

Opini SugengTeguh Santoso: Selain CSR, Pemkab Bogor Juga Harus Dorong PT Chevron Hormati HAM

Sugeng Teguh Santoso

BOGOR-KITA.com – Pada 28 Mei 2015 Chevron Geothermal Salak (CGS) meluncurkan program pengembangan masyarakat di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Program ini diluncurkan dengan menggunakan dana Corporate Social Responsbility (CSR). Pertanyaannya apakah program tersebut sudah sejalan dengan prinsip dan panduan penghormatan perusahaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)?

Bupati Bogor Nurhayanti yang hadir dalam acara itu, dalam sambutannya  menyampaikan, bahwa pihak swasta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi membantu masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasional perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan memberdayakan masyarakat serta mewujudkan visi misi Kabupaten Bogor menjadi kabupaten termaju di Indonesia. Selain itu dalam rangka mengakses layanan pendidikan, Bupati mengharapkan CGS ikut bantu mengatasi.

Merespons hal tersebut, Yayasan Satu Keadilan (YSK) sebagai sebuah organsiasi yang fokus atas persoalan hukum, HAM dan demokrasi menyayangkan sikap Bupati sebagai kepala daerah yang hanya sekedar memahami tanggung jawab perusahaan sebatas CSR tanpa adanya pemahaman menyeluruh terkait tanggung jawab perusahaan terhadap HAM. Padahal wacana dan diskursus tentang “Bisnis dan HAM” sedang mendapatkan perhatian dunia khususnya Indonesia.

Yayasan Satu Keadilan menyampaikan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar atau yang dikenal dengan CSR dan tanggung jawab perusahaan terhadap HAM, sebagai berikut;

Pertama, mekanisme CSR telah diatur didalam Undang-Undang (UU) No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian pada pasal 1 ayat (3) menegaskan definisi dari tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Secara khusus tentang hal ini ditegaskan kembali dalam pasal 74; “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan.”

Baca juga  Pemkab Bogor Minta 9 Bus ke Pemprov Jabar untuk Transportasi Massal

Tanggung jawab CSR ini dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, kemudian jika tidak menjalankan CSR maka Perseroan akan dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan. Perihal sanksi juga telah diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang secara khusus pada pasal 34 perihal resiko hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankan CSR dapat dikenai sanksi berupa; peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal dan pencabutan kegiatan usaha. Aturan tekhis perihal CSR diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 47 tahun 2012 tentang Tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan Terbatas. Kelemahan dari UU dan PP ini tidak mengatur secara spesifik dalam hal sanksi sehingga beberapa kasus perusahaan CSR hanya sekadar “pencitraan saja” untuk menutupi perilaku negatif perusahaan dalam menjalankan aktivitas atau aktivitas bersolek (window-dressing) atas kegiatan buruk perusahaan.

Kedua, tanggung jawab perusahaan terhadap HAM berbeda dengan CSR, hal ini meliputi keseluruhan yang memberikan prinsip dan panduan perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Lahirnya korporasi tidak terlepas dari buah kolaborasi dan resiprokalitas yang dinamis. Dalam perkembangan modernitas, korporasi menjelma menjadi salah satu aktor pembangunan yang genuine. Sekalipun dalam capaiannya diakui lebih menitikberatkan aspek kepentingan para pemilik modal, namun disadari terdapat relasi yang kuat antara kepentingan korporasi dengan taraf kemajuan kualitas kehidupan masyarakat.

Dalam perkembangannya, kekuatan korporasi cukup besar bahkan bisa mendominasi sebuah kebijakan negara termasuk kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) melalui sokongan pendanaan saat proses Pemilu/Pilkada.Perusahaan raksasa (Korporasi Trans Nasional) telah menggeser kekuasaan negara yang berdaulat sehingga berimplikasi mengecilkan dan melemahkan kewajiban dasar negara terhadap hak asasi warganya. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktik suap yang “akut” sehingga laku birokrasi pemerintah tunduk pada petuah korporasi. Akibatnya banyak pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparatusnya karena keberpihakan negara kepada korporasi sehingga mengabaikan HAM masyarakat.)

Baca juga  Opini Joko Tri Haryanto: Dana Desa, Antara Kebutuhan Anggaran dan Mindset

Merespons praktik buruk bisnis global melalui Trans Nasional dan Nasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan tiga pilar bisnis dan HAM berdasarkan prinsip Prof. John Ruggie. Diawali pada tahun 2005 John Ruggie diberikan mandat oleh Sekjend PBB sebagai pelapor khusus untuk bisnis dan HAM, kemudian pada tahun 2011 Ruggie menyerahkan laporan kepada sidang PBB hinggga akhirnya disahkan menjadi prinsip-prinsip panduan sebagai praktek standar global bisnis dan HAM yang diharapkan diikuti oleh Negara-negara dan perusahaan (Nasional dan Trans Nasional).

Tiga pilar tersebut antara lain; Kewajiban Negara untuk melindungi HAM, Tanggungjawab Perusahaan untuk Menghormati HAM dan akses yang luas untuk pemulihan korban yang terkait dengan aktivitas kegiatan usaha. Dengan demikian tanggung jawab perusahaan adalah menghindari pelanggaran HAM dan menangani dampak pelanggaran HAM yang sudah ditimbulkan. Pelanggaran HAM yang harus dihindari adalah jenis pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam; Deklarasi Universal HAM, konvensi hak sipil dan politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005, kovenan Internasioanal tentang Hak-hak (EKOSOB) diratifikasi melalui UU No 11 tahun 2005, UU No 39 tentang HAM, UU Lingkungan Hidup dan UU Nasional serta Peraturan Daerah dan aturan terkait lainnya.

Secara khusus tanggung jawab perusahaan dikenal dengan 3 (tiga) model. Pertama, komitmen kebijakan perusahaan (kebijakan disetujui pada tingkatan senior atau pimpinan tertinggi perusahaan, dikonfirmasi oleh tenaga ahli internal dan eksernal, kebijakan mencakup penghormatan perusahaan terhadap HAM, tersedia untuk umum/public dan mudah diakses, tercermin dalam kebijakan yang diintegrasikan ke seluruh organ perusahaan. Kedua, Uji Tuntas (mengidenfitikasi dan mencegah, menilai dampak HAM yang ada dan berpotensi untuk terjadi, memperhatikan pendapat ahli HAM/ahli independen, melakukan konsultasi terfokus dengan masyarakat yang berpotensi terdampak). Ketiga, adanya mekanisme pemulihan yang efektif (mekanisme dapat diterima/legitimate, dapat diakses, dapat diprediksi, seimbang, transparan, pengakuan atas hak-hak, ada mekanisme pembelajaran yang berkelanjutan, mengedepankan partisipasi dan dialog dengan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan).

Baca juga  Iwan Setiawan Ngaku tak Bakal Banyak Nuntut ke Bupati Terpilih Rudy Susmanto: Biar 'Husnul Khatimah'

Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi mansia yang kami uraikan diatas,  Yayasan Satu Keadilan mendorong Bupati Bogor sebagai Kepala Pemerintahan di tingkat Kabupaten dimana wilayahnya merupakan tempat ekplorasi dan ekploitasi SDA oleh perusahaan Nasional maupun Trans Nasional seperti PT CGS dan perusahaan lainnya. Atas dampak yang ditimbulkan atas beroperasinya perusaah-perusaaan tersebut kami mendesak Bupati Bogor untuk segera mengambil langkah-langkah cepat, efektif dan strategis dengan cara:

Mendorong Perusahaan Chevron Geothermal Salak/CGS dan perusahaan lainnya untuk melakukan evaluasi atas komitmen dalam menjalankan prinsip dan panduan penghormatan perusahaan tehradap HAM yang sudah disahkan melalui sidang PBB dengan melakukan; evaluasi atas komitmen Perusahaan, melakukan uji tuntas dan mereview mekanisme pemulihan. Hal ini penting dilakukan apakah selama menjalankan kegiatannya terdapat pelanggaran atas aturan dan implementasi kebijakan perusahaan yang patut diduga berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan;

Memastikan perusahaan Chevron Geothermal Salak/CGS dan perusahaan lainnya tunduk dan patuh pada aturan Internasional tentang HAM, aturan nasional UU dan Peraturan Daerah serta aturan terkait lainnya;

Mempublikasikan hasil laporan atas review atau dikenal dengan audit HAM perusahaan Chevron Geothermal Salak/CGS dan perusahaan lainnya yang berdampak pada alam dan lingkungan;

Ketiga hal tersebut penting untuk segera dilakukan guna mencegah berlanjutnya kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang ada diwilayah Kabupaten Bogor. [] Sugeng Teguh Santoso adalah Ketua Yayasan Satu Keadilan

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top