Opini: Naturalisasi
Oleh : Dr David Rizar Nugroho, MSi
Pecinta Tim Nasional Garuda
Diksi “naturalisasi” kini menjadi kata yang akrab di percakapan sehari hari masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi ketika terjadi “hijrah” massal pesepakbola “asing” menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) untuk memperkuat tim nasional Garuda.
Pro kontra terjadi wajar karena kita negara demokrasi. Yang pasti dengan hadir nya pemain “asing” ini kualitas permainan tim nasional kita meningkat karena skill mereka di atas rata rata pesepakbola Indonesia.
Apakah perpindahan kewarganegaraan dari asing ke WNI di dunia sepakbola baru kali pertama terjadi? Yang jelas tidak, sebelumnya sudah ada seperti Christian Gonzales, Stefano Liilipaly, Greg Nwokolo, Beto, Bio Pauline dan lain sebagainya.
Kebanyakan mereka pemain asing tulen yang main di Liga Indonesia dan sudah menetap lebih lima tahun serta punya skill yang bagus. Tak heran saat jadi WNI usianya “sudah banyak” karena ada kewajiban menetap lima tahun di Indonesia baru bisa diajukan pergantian warga negara menjadi WNI.
Mereka pada umumnya tidak punya garis keturunan dengan orang Indonesia istilah nya asing tulen.
Tentu berbeda dengan yang sekarang. Nama programnya “naturalisasi” jadi kesannya menaturalisasi orang asing menjadi orang Indonesia. Saya sendiri lebih suka menggunakan istilah pemain diaspora ketimbang naturalisasi.
Diaspora adalah penyebaran kelompok agama atau suku dari tanah airnya karena paksaan atau sukarela. Diaspora juga digunakan pada sekelompok masyarakat yang harus pergi bersama-sama dalam waktu singkat dan cepat.
Dikutip dari bahan ajar berjudul Diaspora dan Kewarganegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud), diaspora bukan kepergian perlahan-lahan. Mereka yang melakukan diaspora tidak pergi dalam waktu lama atau ingin meninggalkan kampung halaman.
Dino Patti Djalal dalam bahan ajar FH Unud menjelaskan, ada empat kelompok diaspora yang meninggalkan Indonesia. Kelompok tersebut adalah:
1. WNI berpaspor Indonesia
Warga negara Indonesia (WNI) berpaspor Indonesia adalah orang Indonesia yang meninggalkan tanah airnya untuk bekerja atau menetap di luar negeri. Para diplomat, TKW atau TKI, pelajar Indonesia di luar negeri masuk ke dalam kategori ini.
2. Eks WNI
Eks WNI adalah orang Indonesia yang mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara lain. Jadi, siapapun WNI yang telah menjadi warna negera di mana mereka tinggal, atau istilahnya ganti paspor, termasuk ke dalam kategori kedua ini.
3. Keturunan Indonesia
Keturunan Indonesia yang dimaksud di sini adalah orang-orang blasteran yang salah satu orang tuanya berstatus WNI. Misalnya, orang Indonesia yang menikah dengan orang Belanda, orang Amerika, orang Inggris dan lain sebagainya. Anak dari hasil perkawinan tersebut termasuk ke dalam kelompok ini.
4. Pecinta Indonesia
Pecinta Indonesia adalah warga negara manapun yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia. Biasanya mereka adalah diplomat, peneliti, mahasiswa atau pekerja asing yang bekerja serta menetap di Indonesia cukup lama. Orang-orang tersebut masuk ke dalam kategori ini.
Dari keempat pembagian tersebut, terlihat diaspora Indonesia mempunyai cakupan pengertian yang luas. Orang-orang yang disebut diaspora Indonesia adalah mereka yang mempunyai keterikatan dengan Indonesia secara yuridis maupun sosiologis.
Diaspora yang saya maksud terkait program “naturalisasi” yang di mulai Lagi sejak jaman Ketua Umum PSSI Iwan Bule dan dilanjutkan saat ini oleh Ketua Umum PSSI Erick Thohir adalah nomor tiga Dispora yaitu orang yang punya keturunan Indonesia.
Hal ini biasanya terjadi akibat perkawinan antar bangsa.
Perkawinan antar bangsa ini sudah menjadi kelaziman dan ketika beranak pinak mereka punya garis keturunan yang tidak homogen lagi atau bahasa sehari hari kita anak bule/indo atau blasteran. Kalau ibunya orang Depok bapaknya orang Belanda disebut blasteran Belanda Depok anaknya.
Di saat televisi jadi raja media dan sinetron adalah program yang paling banyak ditonton para artisnya cantik cantik dan ganteng ganteng karena mereka blasteran di mana bapak ibu nya kawin beda negara.
Kita sebut saja Luna Maya, artis blasteran Indonesia Austria. bapaknya orang Indonesia ibu nya orang Austria tinggal di Bali dan Luna pun lahir di dan besar di Bali. Karena lahir di Indonesia jadi WNI tapi sejatinya Luna berbasis Diaspora.
Apa bedanya Luna Maya dengan pemain sepakbola yang “dinaturalisasi”? Ya sama saja. Kita punya Mees Hilgers bek FC Twente klub liga utama Belanda yang punya ibu bernama Linda Tombeng dari Manado Sulawesi Utara. Linda menetap di Belanda dan menikah dengan pria Belanda sehingga lahir lah Mees Hilgers. Karena lahir di Belanda Mees kecil jadi WN Belanda ketika dewasa dia memutuskan jadi WNI dan mau bela timnas Garuda masak ditolak?
Apalagi Mees pemain grade A di Liga Belanda sekarang. Artinya cara pandang kita harus sama ketika melihat Luna Maya dan Mees Higers. Tentu tidak Apple to Apple membandingkan Mees dengan Christian González yang asli Uruguay. Mees tidak harus nunggu lima tahun pindah jadi WNI karena ada darah Indonesia di tubuh nya.
Jadi clear semua yang jadi pemain timnas dari luar negeri sejatinya saudara saudara blasteran kita yang besar dan lahir di luar negeri yang punya garis keturunan dengan orang Indonesia sehingga tidak relevan kita membuat garis yang tegas dia asing kita pribumi. Mereka blasteran seperti juga Luna Maya, cuma Luna lahir di Indonesia mereka pada umumnya lahir di Belanda. Kenapa banyak dari Belanda? Ya jelas kita punya historis 350 tahun sama Belanda pernah dijajah dan tidak sedikit orang Indonesia “hijrah” ke Belenda pada masa transisi kemerdekaan Indonesia.
Di dunia sepakbola sudah banyak fenomena ini terjadi. Timnas Perancis juga memanfaatkan pemain Diaspora bahkan Jepang juga penjaga gawangnya Dion Suzuki Dispora dia berkulit gelap sendiri di timnas Jepang.
Jadi program “naturalisasi” ini harus kita maknai pemanggilan pulang anak bangsa blasteran untuk membantu prestasi timnas Garuda yang sedang menanjak. Syukur syukur kita bisa lolos Piala Dunia tahun 2026 di Amerika Serikat. Siapapun anak bangsa blasteran dari seluruh penjuru dunia yang mau pulang dan jadi WNI untuk membantu negara moyangnya harus kita sambut dengan tangan terbuka. (*)