BOGOR-KITA.com, CIOMAS – Tak terasa masa empat tahun Kepengurusan PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) di bawah Ketua Umum Wiranto yang akan berakhir Oktober 2020.
Apakah PBSI akan meneruskan kepemimpinan Wiranto atau memilih ketua umum yang baru?
PBSI yang kini berusia 71 tahun, akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) untuk memilih Ketua Umum yang baru untuk masa jabatan 2020-2024 pada awal November 2020 ini.
Bulutangkis bukan olahraga yang tercipta di Indonesia. Olahraga yang dimainkan dengan kok dan raket ini, konon berkembang di Mesir kuno sekitar 2000 tahun lalu, tetapi juga disebut-sebut sudah berkembang di India dan Tiongkok.
Di Tiongkok, terdapat permainan yang disebut Jianzi, yang melibatkan penggunaan kok tetapi tanpa raket. Koknya dimainkan dengan menggunakan kaki, seperti sepak takraw. Setiap pemain menjaga kok agar tidak menyentuh tanah selama mungkin tanpa menggunakan tangan.
Di Inggris sejak zaman pertengahan ada permainan sangat populer di kalangan anak-anak yang disebut battledores dan shuttlecocks. Anak-anak itu menggunakan dayung/tongkat (battledores) dan bersiasat bersama untuk menjaga kok tetap di udara dan mencegahnya menyentuh tanah.
Penduduk Inggris kemudian membawa permainan ini ke Jepang, Republik Rakyat Tiongkok, dan Siam yang menjadi negara koloni mereka. Bulutangkis dengan segera menjadi permainan anak-anak di wilayah negara koloni Inggris.
Dari cerita yang diproleh dari berbagai literatur, tak muncul nama Indonesia. Indonesia juga bukan negara jajahan Inggris, sehingga bulutangkis diduga lebih dulu berkembang di negara-negara jajahan Inggris.
Namun demikian, Indoneia luar biasa. Walau tidak tercatat sebagai negara tempat awal berkembang atau lahirnya bulutangkis, tetapi Indonesaia adalah sebuah negara di mana olahraga bulutangkis berkembang dengan cepat dan sangat dikenal, tidak hanya di satu dua daerah, tetapi di seluruh Indonesia, dari kota sampai pelosok desa.
Sedemikian rupa, bagi generasi yang terlahir di sekitar tahun 60-an bisa jadi menganggap bulutangkis lahir di Indonesia. Karena pada pada masa mereka, bulutangkis Indonesaia memang sangat ppopuler, dan selalu jawara di berbagai pertandingan internasional.
Ketika itu, setiap kali ada pertandingan internasional yang disiarkan televisi, nyaris bisa dikatakan menjadi tontotan yang laris lebih dari program acara apa pun.
Penonton nyaris tidak beringsut dari depan televisi menyaksikan atlet bulutangkis Indonesia berlaga di kancah internasional itu. Saat menonton, rakyat juga mungkin diliputi rasa cemas, khawatir jagoan Indonesia kalah.
Bulutangkis di Indonesia sangat mengakar. Di mana-mana daerah, di mana-mana pelosok desa ada lapangan bulutangkis, tempat rakyat bermain, baik untuk kebugaran, maupun sebagai olahraga yang dipertandingkan mulai dari tingkat rukun tetangga terutama setiap jelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Bagaimana bulutangkis bisa begitu mengakar? Dugaan saya karena kehebatan atlet bulutangkis Indonesia yang berkalki-kali meraih gelar jawara.
Rudi Hartono, Liem Swie King, Christian Hadinata, Ade Chandra dan Tjun Tjung/Johan Wahyudi, bahkan menjadi legenda. Masyarakat di eranya juga sangat kenal ciri khas permainan masing-masing legenda ini.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh para legenda inilah tampaknya yang membuat bulutangkis seolah-olah lahir dan berkembang di Indonesia.
Rakyat bersorak jika pemain Indonesia menang, seolah-olah berhasil mempertahankan “hak”nya, dan akan manyun jika kalah, seolah-olah “anak” yang dilahirkan oleh bumi pertiwi, direbut dan berada dalam asuhan orang asing.
Bulutangkis, di era 70-an dan 80-an bak gladiator di Roma. Dia menjadi hiburan politik dahsyat, dan kemenangan yang diraih menjadi cermin sukses pemimpin menggulirkan roda pemerintahan menuju negara jaya.
Tahun 90-an ada legenda legenda baru yang juga sukses, seperti Ardy Wiranata, Haryanto Arbi, Alan Budikusuma, Taufik Hidayat, Susi Susanti, dan lain sebagainya.
Tahun 1992, Alan Budikusuma, Susi Susanti menyumbangkan Emas Olimpiade untuk Indoneaia.
Demikian juga Taufik Hidayat (2004) di nomor tunggal., lalu ganda Rexy Mainaky/Ricky Subagya (2000), Markis Kido/Hendra Setiawan (2008), serta ganda campuran Tantowi Ahmad/Liliyana Natsir (2016).
Bagaimana sekarang? Harus diakui masih ada prestasi. Kita masih mengenal yang namanya Ginting dan lainnya. Namun, supremasi bulutangkis Indonesia terlindas China, Jepang, Korea Selatan dan Denmark.
Dalam perspektif ini Musyawarah Nasional Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (Munas PBSI) November 2020 mendatang menjadi satu momen penting.
Berkaca dari pencapaian di masa jaya, para pengurus PBSI di daerah dan pusat harus menggunakan ajang Munas tahun 2020 ini yang digelar pada 5-6 November, sebagai tonggak awal perbaikan prestasi.
Evaluasi menyeluruh dari pola pelatnas yang banyak dipertanyakan soal rekrutmen pemain dan pelatih, sampai pembinaan di daerah harus ditemukan titik masalah dan solusinya.
Pemilihan pelatih dan pemain ke pelatnas yang fair akan meningkatkan kualitas dan prestasi atlet. Sebaliknya jika pelatnas digunakan sebagai sarana klub sentris, bukan refleksi dari kebanyakan klub, maka jangan berharap prestasi internasional yang membanggakan bisa tercapai lagi.
Munas harus memilih ketua umum baru yang kompeten yang bisa merenovasi organisasi PBSI menjadi lebih baik, dan dapat diandalkan guna membantu menghidupkan lagi turnamen dan pemusatan latihan di daerah yang selama ini menjadi kawah candradimuka pemain muda berbakat.
Dalam empat tahun terakhir, sangat terasa bahwa pembinaan di daerah terabaikan dan pelatnas kurang menghasilkan output atlet bulutangkis yang bisa diandalkan. Terutama untuk menggapai kembali gelar juara Thomas Cup dan Uber Cup yang sempat menjadi kebanggan negeri ini.
Ketua Umum PBSI yang baru juga harus memiliki kemampuan dalam mengoleksi dana atau sponsorship. Jangan hanya mengandalkan sponsor dari satu grup perusahaan saja. Harus ditarik pula BUMN dan BUMN untuk ikut menopang kebangkitan bulutangkis tanah air. Semoga
[] Anto Murtianto, wartawan senior olahraga, sekarang bergabung sebagai Wakil Pemimpin Redaksi BOGOR-KITA.com.