Menggagas Restorative Justice Pada Kasus Hoaxs dan Penghinaan di Dunia Digital
Oleh: Emiral Rangga Tranggono, SH.MH (Direktur Era Law Firm)
dan R Muhammad Mihradi, SH MH (Dosen FH Universitas Pakuan)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Perkembangan konsep-konsep filsafat dan teori hukum berlari sangat cepat. Seperti dalam penegakan hukum di era kontemporer ini dikenal dengan konsep restorative justice, yang sempat disinggung oleh Calon Kapolri saat itu (yang kemudian jadi Kapolri) Komjen Listyo Sigit Prabowo saat di uji kelayakan di Komisi III DPR (https://www.antaranews.com/berita/1959320/listyo-sigit-transformasi-polri-presisi-dan-keadilan-restoratif).
Dalam literatur ditulis restorative justice atau keadilan restoratif merupakan pendekatan yang muncul tahun 1960-an yang menitikberatkan pada partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Ini menjadi penting karena dengan keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku sangat berperan dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan usaha perbaikan tersebut (Jonlar Purba,2017:54-55).
Konsep Restorative Justice
Secara hukum positif, salah satu norma yang mengadopsi konsep keadilan restoratif (restorative justice) adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 angka 6 undang-undang tersebut dirumuskan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Bentuknya berupa diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Syaratnya, merupakan tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Diversi wajib diupayakan baik dilakukan baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri (Pasal 7 UU 11/2012).
Filosofi keadilan restoratif kompatibel dengan falsafah Pancasila. Pertama, sila Pancasila, khususnya sila ke-empat menghendaki musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan kebijakan. Termasuk dalam konteks hukum yang mengadipsi keadilan restoratif tadi. Kedua, pendekatan keadilan restoratif dapat meminimalisasi potensi balas dendam karena yang diutamakan adalah pencarian penyelesaian yang adil dengan pelibatan semua pihak. Pemulihan menjadi prinsip yang esensial.
Bagaimana Hoaxs dan Penghinaan Di Dunia Maya
Glery Lazuardi, dari program Magister Hukum Universitas Jayabaya, dalam tulisannya menggagas usulan agar pelaku penyebaran hoaxs maupun penghinaan di dunia maya dapat dipertimbangkan pendekatan restorative justice. Selama ini, penanganan tindak pidana menyangkut hoaxs maupun penghinaan di dunia maya ini menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan UU ITE. Dalam UU ITE pidananya cukup berat. Seperti, bila melanggar Pasal 27ayat (3) yakni memenuhi rumusan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana. Dan pidananya tidak main-main, paling berat 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak satu milyar (Pasal 45 ayat (1) UU ITE).
Mengapa perlu pendekatan keadilan restoratif? Fakta bahwa menurut Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society (CFDS), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) menyampaikan data dari safenet.or.id, bahwa kasus pidana UU ITE hingga 30 Oktober 2020, mencapai 324 kasus. Spirit UU ITE seharusnya untuk menciptakan rasa aman bagi semua orang di media daring, tapi kini UU ITE banyak memakan korban. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis. Sebab UU ITE ini akan mudah memidanakan kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian. Menurut catatan Treviliana, sebanyak 172 kasus yang dilaporkan itu berasal dari unggahan di media Facebook termasuk Facebook pages (https://nasional.kontan.co.id/news/pidana-di-uu-ite-efektif-menjerat-pengguna-medsos-hingga-oktober-ada-324-kasus).
Persoalannya, tidak semua yang terkena kasus UU ITE memang memiliki kehendak jahat. Bisa saja karena minimnya literasi digital. Atau sebagai bentuk kritik sosial namun kemudian ditafsirkan pihak lain sebagai penghinaan atau hoaxs. Maka, pada ranah yang sarat aroma abu-abu, perlu ditimbang keadilan restoratif sehingga tidak perlu semua berujung pada pemidanaan penjara. Jika dimungkinkan dilakukan perdamaian berkeadilan melibatkan semua pihak maka hal ini perlu ditimbang juga. Tentu dengan terlebih dahulu membuat regulasi yang memungkinkan hal tersebut.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif selaras dengan pernyataan Presiden yang menghendaki masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik, masukan ataupun potensi maladministrasi penyelenggaraan layanan publik (https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-011405090/jokowi-inginmasyarakat-aktif-kritik-pemerintah-aktivis-ham-intinya-nggak-boleh mengkritik). Himbauan presiden sukar dipenuhi bila bayang bayang pemidanaan UU ITE lebih kuat dibandingkan keleluasaan menyampaikan aspirasi dalam konteks negara demokrasi. Maka, pilihan pendekatan keadilan restoratif menjadi niscaya.
Penutup
Jantung hukum adalah keadilan. Demokrasi dirawat oleh hukum yang nafasnya keadilan. Falsafah Pancasila merefleksikan nilai dasar hukum basis keadilan dan demokrasi tadi. Maka, ketika ini diturunkan dengan melembagakan pranata keadilan restoratif, paling tidak, dapat mengurangi konflik-konflik di publik yang sebenarnya masih tersedia jalan lain tanpa harus berujung kepemidanaan penjara. Sebab, pemidanaan penjara tidak selalu menyelesaikan masalah jika tidak tepat dosis dan ukurannya. Salah-salah melembagakan tradisi balas dendam yang sudah lama dihapus dalam gagasan pembentukan hukum modern. []