BOGOR-KITA.com, BOGOR – Berseragam coklat dan diiringi oleh pasukan yang juga berseragam, Komjen Idham Aziz calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo datang ke Komisi III DPR RI di Komplek DPR Senayan Jakarta, untuk menjalani uji kelayakannya dan kepatutan (fit and propertest) pada Rabu (30/10/2019).
Tanpa timbang aleng terlalu lama, Komisi III DPR RI memutuskan Idham Azis sebagai Kapolri. Tiada tolakan dari fraksi, semua sepakat Idham menjadi Kapolri, dan dilantik oleh Presiden Joko Widodo, Jumat (1/11/2019).
Sebagi Kapolri baru, Idham Aziz memiliki tantangan besar, terutama mengenai masalah kredibilitas polri yang dicatat oleh publik sebagai institusi masih agak arogan, dan seringkali melakukan langkah-langkah serampangan hingga mempengaruhi mindset publik bahwa penegak hukum berseragam coklat itu belum juga lepas dari citra buruk, kurang ramah, tak profesional, dan tak bersih. Semua hal itu membuat sebagian orang berfikir bahwa perilaku polisi di negara ini seperti itu tidak ada bedanya dengan di negara yang tidak demokratis, dipimpin diktator, dan dijangkiti penyakit korupsi tingkat ganas.
Untuk mencegah mindset publik itu, telah disahkannya kebijakan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Hak Asasi Manusia yang memaksa petugas berseragam coklat itu menghormati HAM, termasuk tidak melakukan penyiksaan dalam pemeriksaan dan Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2008 yang meminta publik menjadi subjek aktif membantu polisi mengatasi persoalan hukum dimasyarakat.
Paradigma ini menjujung tinggi prinsip demokrasi, kemajemukan dan hak asasi manusia.
Tanpa perubahan radikal di internal Polri, Kapolri tak akan mampu memenuhi tuntutan reformasi publik. Saat ini, dengan masih belum terselesaikannya kasus demi kasus, seperti penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tahun 2017, pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib yang tewas diracun dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam pada tahun 2004, dan pemukulan terhadap aktivis mahasiswa di Kota Bogor, dan di daerah lainnya, yang malakukan demonstrasi sebagai hak konstitusi warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. sampai saat ini belum adanya kepastian hukum yang didapatkan oleh korban-korban prilaku kriminal tersebut.
Jika memang Kapolri yang baru terpilih, yang masa jabatanya kurang lebih hanya empat belas bulan lagi berkomitmen mengusut persoalan-persoalan kriminal di atas, maka pelaku tindak kriminal yang masih berkeliaran, tidak lama lagi tertangkap dan diadili di pengadilan.
Intregritas Polri
Secara hukum atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, tugas kepolisian sangat gamblang dan mulia. Dalam pasal 13 dinyatakan, “memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Tugas-tugas mulia ini tentu sudah dijalankan oleh kepolisian sampai batas-batas tertentu. Namun karena prilaku beberapa oknum kepolisian tertentu, membuat integritas Polri masih dianggap belum mampu menghilangkan cap arogan terhadap penyelesaian persoalan-persoalan keamanan dan kenyamanan di masyarakat.
Kita sangat menunggu gebrakan Kapolri yang baru dengan langkah “grand strategy” Polri yang mampu mewujudkan Integritas Polri. Dan kita ingin melihat kepolisian kita penuh wibawa, cekatan, komunikatif, dan kehadirannya selalu dirindukan masyarakat secara luas. Wibawa ini akan cepat diperoleh jika Kapolri yang diangkat adalah yang benar-benar dirasakan publik sebagai sosok yang mewakili denyut nadi kepentingan bangsa dan negara di tengah tingginya kasus kriminal. Jika langkah itu dilaksanakan maka berarti tahun ini Polri akan memasuki fase membangun kepercayaan publik (trust building publik).
[] Oleh: Wahyu Hidayat Lubis, Mahasiswa Fakulstas Hukum Univ. Pakuan Kota Bogor, Dirut Boemipoetra Institut, Dan Aktivis HMI Cabang Kota Bogor