Kesetaraan Gender: Antara Cita-Cita dan Realita
Oleh : Lasmi Purnawati*)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Peringatan hari perempuan sedunia (International Women’s Day) tanggal 8 Maret 2022 mengambil tema #BreakTheBias. Melalui tema kampanye ini, international women’s day menyuarakan kembali kesetaraan gender di seluruh dunia dan menuntut terwujudkan dunia yang adil dan inklusif tanpa stereotip dan diskriminasi.
Kesetaraan gender bukanlah isu baru, tetapi telah menjadi fokus perhatian dunia sejak berabad-abad silam. Wacana mengenai kesetaraan gender semakin menguat seiring dengan tuntutan persamaan yang terus menggema tidak hanya di negara-negara yang memiliki peradaban tinggi, tapi juga merasuk ke ruang-ruang diskusi di negara-negara berkembang. Namun, hingga kini kesetaraan gender masih menjadi isu yang diperdebatkan dan menjadi tema yang diperjuangkan setiap tahun dari masa ke masa. Ketidaksetaraan gender tetap menjadi tantangan terbesar bagi penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Penyebab masih terjadinya ketidaksetaraan atau bias gender, salah satunya dipicu budaya patriarki. Pandangan bahwa laki-laki lebih kuat, lebih perkasa, lebih berhak menduduki peran-peran penting telah melahirkan tatanan budaya yang lebih memihak laki-laki daripada perempuan. Konstruksi budaya ini terus berlangsung dari generasi ke generasi. Akhirnya masyarakat sulit membedakan antara apa yang disebut kodrat dengan konstruksi budaya sebagai produk yang diciptakan oleh manusia. Sebenarnya gender adalah sifat dan perilaku yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini, dimana perempuan semakin diberikan peluang yang lebih luas dalam posisi jabatan struktural dan terlibat di bidang politik, namun diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan dengan berbagai sifat dan tingkatan. Budaya patriarki menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi sumber daya yang bias gender. Kultur yang demikian ini yang menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia tingkat kesetaraan gender masih rendah yang tercermin dari indeks kesetaraan gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-ASEAN. Hal ini menggambarkan realita bahwa saat ini perempuan Indonesia masih tertinggal di belakang laki-laki, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga keterwakilan dalam politik. Kesenjangan gender terjadi akibat adanya ketimpangan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat (AKPM) pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Peringatan hari perempuan internasional dimaknai sebagai momen perubahan. Mengajak dunia untuk mematahkan semua bias yang ada dalam lingkungan masyarakat, komunitas, tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, dll. Memang mewujudkan kesetaraan gender merupakan agenda jangka panjang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sebab merubah budaya yang diawali dari perubahan mental dalam memandang sesuatu, membutuhkan waktu. Kunci terwujudnya kesetaraan gender dalam masyarakat adalah pendidikan. Karena pendidikan merupakan alat untuk mentransfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender.
Kesetaraan gender merupakan persoalan krusial untuk mencapai masyarakat yang damai dan mampu memfasilitasi seluruh potensi manusia serta mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Sementara ketidakadilan, muaranya adalah terciptanya tatanan sosial yang tidak harmonis, dan bisa menimbulkan konflik. Kesetaraan gender hanya dapat terwujud apabila ada kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan atas akses, kontrol, partisipasi maupun manfaat dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, dll.
Untuk itu, diperlukan upaya dan komitmen sungguh-sungguh dari semua pihak dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, diantaranya dengan mengakhiri budaya patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan; Memastikan partisipasi dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk kepemimpinan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan publik; Menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak baik di ranah publik maupun domestik; Serta melakukan reformasi untuk memberi perempuan hak yang sama terhadap sumber daya ekonomi, akses terhadap kepemilikan dan kontrol atas tanah dan properti, layanan keuangan, warisan dan sumber daya alam lainnya sesuai dengan undang-undang.
Di dunia kerja misalnya memberikan kesetaraan gaji, fleksibilitas kerja dan worklife balance, mengubah strategi perekrutan untuk meningkatkan keragaman gender serta menerapkan kebijakan yang tegas terhadap pelecehan di tempat kerja. Hal yang paling mendasar adalah mengubah mental, mindset atau pola berpikir, maupun cara pandang baik laki-laki maupun perempuan sebab diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan tetapi juga oleh perempuan sendiri terhadap kaumnya.
Selamat hari perempuan internasional 8 Maret 2022, semoga kesetaraan gender tidak hanya sebatas cita-cita atau sekedar menjadi topik di ruang-ruang diskusi tetapi menjadi realita di kehidupan nyata. Wallahu’alam bishowab
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Pena Demokrasi Indonesia