BOGOR-KITA.com – Entah dari mana datangnya istilah “dijual” terkait rencana pemerintah pusat menawarkan kawasan Jonggol di Kabupaten Bogor kepada pemerintah Tiongkok untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus Indonesia – China.
Penawaran itu sendiri baru akan terjadi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kedua The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra pada April 2019. Tetapi karena ada embel-embel kata “dijual” maka rencana itu terkesan sangat negatif dan secara tidak langsung mendorong Pemkab Bogor untuk menolak.
Secara cepat penting dikemukakan, bahwa Indonesia sudah memiliki undang-undang tentang KEK, yakni UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sebuah undang-undang tidaklah datang secara begitu saja, sebaliknya sudah dilandaskan pada kajian yang matang, baik secara akademik maupun politis.
Kajian akademik dilakukan sebelum RUU KEK dibahas di DPR, sedang kajian politis dilakukan dalam perdebatan dan pertimbangan di DPR sebelum memberikan persetujuan atas rencangan undang-undang itu.
Dalam bagian pertimbangan, tujuan UU KEK disebutkan “untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional, perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus.
Dari sini saja sudah terasa betapa kata “dijual” dalam berita tentang bakal KEK Jonggol sangat tidak tepat. Kata “dijual” dalam hal ini menimbulkan kesan seolah-olah setelah menjadi KEK, pemerintah Indonesia tidak lagi punya otoritas di kawasan Jonggol.
Yang namanya kawasan ekonomi khusus memang ada untung ruginya.
Keuntungannya adalah, pertama, dengan adanya KEK diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru dalam jumlah besar, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran.
Kedua, dengan terserapnya angkatan kerja di masyarakat, akan meningkatkan income perkapita masyarakat, hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat.
Ketiga, dengan meningkatnya daya beli masyarakat maka kegiatan sektor ekonomi riil lainnya berupa perdagangan barang dan jasa mengalami kemajuan.
Keempat, dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus yang akan menjadi tempat beroperasinya berbagai industri dan perdagangan, maka diharapkan akan dapat menampung hasil produksi pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan masyarakat sekitar (hinterland) untuk diolah sebagai bahan baku bagi industri yang ada di Kawasan Ekonomi Khusus. Dengan adanya pasar penampungan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan masyarakat akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kelima, dengan berkembangnya kegiatan KEK, diharapkan akan mendorong perkembangan industri jasa pendukung lainnya yang menjadi usaha masyarakat sekitar, misalnya jasa angkutan, jasa pelayanan penginapan, jasa hiburan, perhotelan dan lain-lain.
Betul ada kelemahan.
Kelemahan pertama yaitu menyangkut aspek lingkungan, misalnya, polusi dan limbah. Polusi dan limbah dapat berupa polusi udara, air dan suara maupun tanah. Polusi dan limbah ini dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di disekitar kawasan industri.
Kedua, ketergantungan Indonesia akan kehadiran investor-investor asing menyebabkan Kawasan Ekonomi Khusus mempunyai otoritas yang sangat tinggi sehingga sulit untuk menghindar dari skenario global ala Kawasan Ekonomi Khusus.
Ketiga, kawasan Ekonomi Khusus berupaya menguasai bahan mentah melalui eksploitasi besar-besaran.
Keempat, Kawasan Ekonomi Khusus berusaha memperoleh tenaga kerja/buruh yang murah.
Kelima, Kawasan Ekonomi Khusus berusaha menguasai pasar/market dengan jalan monopoli baik pembelian maupun penjualan.
Kelemahan-kelemahan ini tentu saja harus diterima karena merupakan konsekuensi dari keuntungan-keuntungan yang diterima. Dalam bahasa sederhana, pengusaha mana yang mau berinvestasi di suatu daerah jika tidak diberikan kemudahan-kemudahan atau otoritas tertentu?
Namun harus dicatat, otoritas dalam hal KEK bukan otoritas bersifat taken for granted. Sebab dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2009 tentang KEK ada aturan main.
Aturan main itu diperankan oleh Dewan Kawasan, yang diketuai oleh gubernur dan bupati sebagai wakil ketua, ditambah unsur pemerintah provinsi, unsur pemerintah kabupaten sebagai anggota.
Peran Dewan Kawasan digariskan dalam Pasal 21 UU KEK yakni:
- melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan mengembangkan KEK di wilayah kerjanya;
- membentuk Administrator KEK di setiap KEK;
- mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas Administrator KEK dalam penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu pintu dan operasionalisasi KEK;
- menetapkan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di wilayah kerjanya;
- menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan Nasional setiap akhir tahun; dan
- menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.
Tampak sekali dalam hal ini bahwa otoritas yang dimiliki Administratur KEK dapat dievaluasi oleh Dewan Kawasan.
Oleh sebab itu, sekali lagi, adalah sangat tidak tepat penggunaan istilah “dijual” yang dilekatkan pada berita KEK Jonggol.
Kata “dijual” malah menyesatkan, karena secara tidak langsung memvonis bahwa menjadikan Jonggol sebagai KEK hanya merugikan, yang sama artinya dengan melawan atau menentang UU KEK itu sendiri.
Kekhawatiran terjadinya dominasi perusahaan multinasional yang masuk dalam KEK, juga berlebihan.
Sebab, era ini adalah era perdagangan bebas, sehingga ada atau tidak ada KEK, perusahaan multinasional bisa masuk lewat berbagai pintu.
Lagi pula, era ini adalah era internet. Dalam hal perang dagang, lokasi tidak lagi menjadi faktor. Sebab perang di era internet adalah cyber war dan penetrasinya disebut proxy war (perang yang dimainkan oleh para kaki tangan), suatu yang sangat sulit dihindari.
Lebih dari itu, tidak mudah mengajukan suatu kawasan menjadi kawasan KEK, karena ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi yang semuanya membutuhkan studi, dan waktu yang lama.
Dalam kasus Jonggol, prakarsa datang dari pemerintah pusat. Ini berarti, Kabupaten Bogor beruntung karena tidak perlu lagi mengajukan proposal sebagaimana layaknya pembentukan sebuah kawasan KEK.
Oleh sebab itu pula, Bupati Bogor Ade Yasin penting memberikan dukungan terhadap rencana pemerintah pusat untuk menjadikan Jonggol sebagai kawasan ekonomi khusus atau KEK.
KEK tidak saja penting sebagai solusi mengentaskan kemiskinan yang jumlahnya mencapai sekitar 500 ribu di Kabupaten Bogor, tetapi KEK Jonggol juga akan menjadi solusi bagi Pemkab Bogor dalam mengatasi masalah pengangguran yang juga berjumlah banyak di Kabupaten Bogor.
Pemerintah Tiongkok memang dikenal memiliki skema turnkey project di mana setiap project yang dibiayai China, dikerjakan oleh tenaga kerja China sendiri. Tetapi dalam hal KEK skemanya tentunya tunduk pada UU KEK itu sendiri.
Jika Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kedua The Belt and Road Initiative April 2019 nanti menyetujui tawaran Pemerintah Indonesia, maka sesuai UU KEK, 3 tahun ke depan Jonggol benar-benar sudah menjadi kawasan ekonomi khusus.
Ini berarti ada tiga tahun waktu bagi Pemerintah Kabupaten Bogor mempersiapkan diri mengantisipasi ketakutan-ketakutan kerugian akibat KEK. Sebuah tenggat waktu yang cukup. [] Petrus Barus, Pemimpin Redaksi BOGOR-KITA.com