Kabupaten Bogor Sudah UHC, Tapi Pasien masih Sering Terkendala Layanan
BOGOR-KITA.com, KEMANG – Kabupaten Bogor saat ini sudah melaunching layanan UHC (Universal Health Coverage) atau dalam arti sederhana yaitu layanan jaminan kesehatan adil dan merata.
Hal ini tertuang di dalam dalam Perbup Bogor nomor 64 tahun 2023 tentang percepatan layanan UHC di Kabupaten Bogor. Dengan indikator pendukungnya adalah peserta jaminan kesehatan dan tingkat keaktifan membayar iuran diatas 97 persen.
Namun faktanya, masih seringkali terjadi kasus – kasus klaim jaminan kesehatan ini menjadi sebuah polemik yang dipicu oleh salah faham antara pasien dan pihak rumah sakit karena minimnya informasi edukasi.
Hal ini diungkapkan Ketua Jamkes Watch Bogor Raya, Aden Arta Jaya saat ditemui redaksi Bogorkita. Namun menurutnya, dari fakta di lapangan masih muncul beberapa polemik yang sebagian besar disebabkan para pihak belum memahami utuh apa UHC.
“Layanan UHC merupakan sebuah konsep jaminan kesehatan yang memastikan setiap warga masyarakat dapat memiliki akses yang adil, sama, komprehensif, bermutu tanpa hambatan finansial dalam pelayanan kesehatan,” papar Aden Arta Jaya.
Ia melanjutkan, manfaat UHC meliputi akses layanan kesehatan yang terjangkau, perlindungan risiko finansial saat sakit, dan peningkatan kualitas hidup setiap orang.
UHC juga mencakup berbagai jenis layanan kesehatan, mulai dari promosi kesehatan, pencegahan penyakit, hingga pengobatan dan rehabilitasi bagi para peserta jaminan kesehatan (jamkes) di suatu wilayah.
“Kenapa masih sering terjadi polemik atau kendala soal klaim layanan UHC ini? Dari analisis kami lebih banyak karena belum maksimalnya informasi dan edukasi soal layanan UHC tersebut,” paparnya.
Aden mencontohkan, dalam beberapa bulan terakhir ini tercatat ada polemik soal kasus jenazah yang terjadi di dua rumah sakit. Hal inipun ketika ditelusuri pihak Jamkes Watch ternyata dipicu oleh miskomunikasi.
“Contohnya saja, polemik jenazah di RSUD Leuwiliang. Ternyata kaitan dengan denda layanan bukan soal tunggakan iuran. Jadi harus ada perbaikan komunikasi baik itu petugas RS maupun keluarga pasien dan pihak – pihak terkait,” ungkapnya.
Ia menegaskan, masalah layanan kesehatan dan khususnya jaminan kesehatan bersifat lebih merata dan berkesinambungan seperti UHC ini merujuk kepada kepesertaan dalam BPJS bukan jaminan kesehatan biasanya.
“Untuk itu diperlukan peran aktif dari semua pihak terkait kesehatan. Mulai dari tingkat RT, RW, Kader Kesehatan, Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan pihak pengelola BPJS serta semua rumah sakit,” ujarnya.
Aden menambahkan, kolaborasi semua pihak itu sangat diperlukan karena dari beberapa kasus tentang layanan jaminan kesehatan ini dipicu soal kelengkapan administratif kependudukan dan lainnya.
“Jadi warga yang sakit perlu pendampingan dari semua lini. Karena program UHC ini sasaran utamanya warga tidak mampu agar dapat layanan jaminan kesehatan secara maksimal,” tutupnya. [] Fahry