Hak Asuh Anak Setelah Bercerai, Siapa Berhak?
Oleh : Hendra Bachtiar
(Komisioner KPAD Kabupaten Bogor)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Menurut Pasal 1 point 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Anak adalah Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Pada dasarnya, setiap anak dijamin dan dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demikian yang disebut dalam Pasal 1 point 2 dan Pasal 3 UU Perlindungan Anak.
Dalam UU Perlindungan Anak dikenal istilah kuasa asuh, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya (Pasal 1 point 11 UU Perlindungan Anak).
Adapun yang dimaksud dengan orangtua, menurut UU ini adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat (Pasal 1 point 4 UU Perlindungan Anak).
Hal ini berarti, selama orangtuanya masih hidup, yang berhak dan memiliki kuasa asuh adalah orangtua dari si anak.
Aturan ini dipertegas dalam Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang bebunyi : (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orangtuanya, dalam arti asal-usulnya, dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orangtua kandungnya.
Sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orangtuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orangtuanya. Hal ini terdapat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak.
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 14 UU Perlindungan Anak bahwa, setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan pemisahan yang dimaksudpun ini tidak boleh menghilangkan hubungan anak dengan orangtuanya.
Dari data Pengadilan Agama Kabupaten Bogor diketahui bahwa kasus perceraian yang masuk pada tahun 2020 hampir mencapai 6.000 kasus, dan Triwulanan awal 2021 ini telah mancapai 2.200 kasus, baik cerai gugat maupun cerai talak.
Sejalan dengan banyaknya kasus perceraian tersebut, sehingga memicu juga perebutan kuasa asuh anak.
Maraknya kasus perceraian tersebut banyak didominasi karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus juga karena faktor ekonomi.
Hal ini kemungkinan besar juga dipengaruhi dengan adanya kasus pandemi covid-19 yang melanda dunia sehingga menyebabkan banyaknya pengangguran, kehilangan pendapatan, turunnya omset penjualan dan lain sebagainya yang memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kelaurga.
Perceraian yang ditempuh oleh kedua orangtua harus tidak boleh mencederai pemenuhan terhadap hak anak yang juga diatur oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 poin 11 tersebut di atas. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami dan istri yang sudah bercerai tetap wajib memelihara dan mendidik anaknya demi kebaikan anak itu sendiri.
Perceraian juga tidak menggugurkan kewajiban ayah untuk bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu.
Meskipun demikian, pengadilan bisa memutuskan bahwa ibu juga memikul biaya tersebut dalam kondisi tertentu.
Pengadilan juga berhak menentukan hak asuh anak untuk diberikan kepada ibu ataupun ayah, terutama bila terjadi perselisihan dalam proses perceraian.
Hak asuh atas anak sebenarnya bisa diputuskan dengan cara kekeluargaan. Namun, bila terjadi perselisihan akibat hak asuh anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Skala Nasional maupun Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) yang telah dibentuk di propinsi, kabupaten/kota dapat membantu melakukan mediasi untuk mendapatkan kesepakatan para pihak yang telah bercerai serta bisa juga melalui pengadilan.
Pengadilan dapat membantu memberi keputusan. Pengadilan juga membantu memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.
Di Indonesia, hak asuh anak cenderung diberikan pada ibunya, terutama bagi anak yang masih di bawah umur.
Bagi umat muslim, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 yang berbunyi:
-Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
-Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz atau berusia di atas 12 tahun diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.
-Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Secara umum, dasar hukum yang digunakan untuk pengambilan keputusan hak anak didasarkan atas yurisprudensi (putusan pengadilan terdahulu), seperti pada Putusan Mahkamah Agung RI No 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 Putusan ini menyatakan apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang masih di bawah umur diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yaitu ibu.
Meskipun demikian, pemberian hak asuh anak kepada sang ayah juga bisa saja terjadi dalam perceraian.
Pasal 156 huruf (c) KHI menjelaskan bahwa seorang ibu bisa kehilangan hak asuh anak sekalipun masih berusia di bawah 12 tahun apabila ia tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Bila demikian, atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak asuh pada kerabat lain yang mempunyai hak asuh pula.
Namun, ketentuan KHI tersebut hanya berlaku bagi mereka yang diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama. Sedangkan untuk orang-orang yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri, hakim dapat menjatuhkan putusannya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, bukti-bukti, dan argumentasi yang meyakinkan.
Misalnya, dalam persidangan terungkap bahwa si ibu sering berbuat kasar dan memiliki catatan perilaku buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Maka dalam kondisi tersebut, hak asuh dapat diberikan pada sang ayah.
Kondisi anak akibat maraknya perceraian ini sangatlah rentan, baik untuk perkembangan fisik, maupun psikologi anak dalam tumbuh kembangnya, seyogyanya kepada para orang tua baik dari sisi ibu maupun bapak dapat menahan ego dan kepentingannya masing-masing serta dapat berbagi kasih sayang dalam mengasuh anak dengan baik sesuai dengan porsi dan kapasitasnya sesuai dengan hak dan kewajibannya selaku orangtua dalam menjaga mental anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. []