Hukum dan Politik

Fenomena Calon Tunggal Dan ‘Borong Partai’ Di Ajang Pilkada, Begini Analisis Pengamat

BOGOR-KITA.com, KEMANG – Ada fenomena dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada muncul pasangan calon (paslon) tunggal dan paslon yang diusung banyak partai politik (parpol) dalam satu koalisi.

Hal ini mendapat perhatian publik dan menjadi menarik untuk jadi sebuah pengamatan dunia politik. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi? Berikut ini analisis dari pengamat politik Yusfitriadi.

Menurut Kang Yus, sapaannya, ada 3 (tiga) alasan mengapa muncul pasangan paslon tunggal dan paslon yang “borong” parpol.

Pertama, faktor natural. Dimana di dalam sebuah daerah memang benar – benar tidak ada parpol yang bisa diusung sebagai paslon dalam pemilihan kepala daerah.

Andaipun ada misalnya, tetapi di dalam perjalanannya mengalami halangan tetap, entah itu karena meninggal dunia atau terkena kasus hukum pidana tetap.

“Sehingga mau tak mau pemilihan kepala daerah tersebut hanya diikuti oleh satu pasangan calon,” ungkap Direktur Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus) ini.

Baca juga  Sosialisasi Regulasi, Komisioner KPU Sambangi Parpol Peserta Pemilu se-Kota Bogor

Yang kedua, lanjutnya, monopoli partai politik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 2015 hingga tahun 2020, disimpulkan, meningkatnya jumlah paslon tunggal di dalam ajang pilkada kabupaten/kota karena adanya alasan yaitu memborong parpol lebih murah dan lebih pasti jika dibandingkan dengan harus mengikuti kontestasi.

“Jelas ini merupakan sebuah fenomena politik pragmatis dan transaksional. Sehingga siapapun yang memiliki uang banyak bisa memborong seluruh partai politik,” cetus Kang Yus.

Ketiga, intervensi oligarki politik kekuasaan. Menurut Kang Yus, kondisi ini terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun ini.

Dimana penolakan DPR terhadap putusan MK menjadi satu indikasi jelas bahwa fenomena calon tunggal sudah diskenariokan oleh pihak oligarki politik kekuasaan.

Meskipun ambang batas syarat minimal parpol atau gabungan parpol sudah turun sangat drastis, namun fenomena paslon tunggal tetap saja tinggi jumlahnya.

“Hampir 10 persen dari jumlah kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada serentak tahun 2024 di seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Baca juga  Bikin Bingung, Bawaslu Kabupaten Bogor Temukan Pergeseran Suara Pada Pileg 2024

Kang Yus menjelaskan, bisa kita bayangkan jika ambang batas tersebut masih menggunakan undang-undang sebelum putusan MK, mungkin bisa 50% propinsi, kabupaten/kota yang mengalami fenomena pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Tapi apapun faktornya, lanjutnya, fenomena pilkada yang hanya diikuti satu paslon dengan grafik yang terus meningkat sejak tahun 2015 hingga tahun 2024 tersebut menggambarkan 3 (tiga) hal.

Pertama, kegagalan partai politik. Parpol telah gagal membangun sistem demokrasi politik Indonesia dengan sistem kepartaian. Hal ini terlihat dengan terus meningkat nya fenomena paslon tunggal.
“partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasi politik,” tegas Kang Yus.

Kedua, kembalinya oligarki kekuasaan. Pilkada tahun 2024, terlihat seakan – akan saja ada momentum pemilihan, padahal hakikatnya tidak ada pemilihan, terlebih jika hanya melawan kotak kosong.

Kondisi ini, menurut Kang Yus, diakibatkan dengan dipaksa atau disandera nya seluruh parpol oleh pihak oligarki kekuasaan untuk sama – ama mengusung satu pasangan calon (paslon) saja.

Baca juga  Melli Darsa Kritik Penataan Kota Bogor yang Dianggap Terbelakang

“Tentu saja kondisi ini merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi di Indonesia,” tandas Kang Yus.

Ketiga, degradasi demokrasi. Demokrasi formal prosedural dalam konteks pemilu dan pilkada substansinya tidak hanya memilih orang, namun memilih gagasan, memilih rekam jejak dan memilih karakter.

Dibeberkan Kang Yus, jika ajang Pilkada hanya diikuti satu paslon atau calon tunggal, lalu gagasan apa yang mau dibandingkan? rekam jejak apa yang perlu disandingkan dan karakter apa yang bisa dibedakan?.

Menurut nya, apapun alasannya fenomena pasangan calon tunggal merupakan indikasi nyata adanya degradasi demokrasi di Indonesia.

Fenomena paslon tunggal yang terus meningkat merupakan pesan nyata semua kekuatan politik elit, tidak menghendaki adanya Pemilu.

“Atau lebih jauhnya, mereka ingin mengembalikan sebuah Pemilu maupun Pilkada kepada sistem tertutup, kembali ke jaman rezim orde baru,” tukasnya. [] Fahry

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top