Hukum dan Politik

Bima – Usmar Jadi Dua?

BOGOR-KITA.com – Bima Arya – Usmar Hariman jadi dua? Pertanyaan ini merebak di komunitas politik Kota Bogor, bahkan sampai ke Kabupaten Bogor. Keduanya dikhabarkan akan pecah kongsi dalam Pilkada kota Bogor yang digelar Juni 2018 mendatang.

Bima Arya dan Usmar Hariman adalah pasangan Walikota dan Wakil Walikota Bogor yang terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bogor tahun 2013. Keduanya diusung oleh koalisi PAN, Demokrat, PBB, PKB, dan Gerindra. Pasangan ini memperoleh 132.835 suara mengalahkan empat pasang kandidat lainnya. Yakni kandidat nomor urut 1 Firman Sidik Halim-Gartono (independen) yang memperoleh 25.793 suara sah, pasangan nomor urut 3 Achmad Ru’yat-Aim Halim Hermana yang diusung PKS, PPP, Hanura yang memperoleh 131.080 suara, pasangan nomor urut 4 Dody Rosadi-Untung W Maryono yang diusung koalisi PDI-P, Golkar, PKPI, PDS, PDK, PPN, PNBKI, PIS, PNIM, PKNU, PPDI, PPRN, PPI, Barnas, PBR dengan perolehan 67.715 suara dan pasangan nomor urut 5 Syaiful Anwar- Muztahidin Al Ayubi (independen) dengan perolehan 43.448 suara.

Dalam acara Silaturahim dan Dialog Politik yang digelar Bogor Political Club di Hotel Savero, Kota Bogor, Sabtu (19/8/2017) keduanya tampil sebagai nara sumber. Tampilnya Bima dan Usmar dalam dialog politik bertajuk “Memenangi Pilkada Tanpa Money Politics, Mungkinkan?” itu agak mengundang pertanyaan, mengapa keduanya tampil sebagai nara sumber? Bukankah cukup diwakili salah satu saja?

Selain sebagai Wakil Walikota Bogor Usmar Hariman, saat ini adalah pelaksana tugas atau Plt Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bogor, sementara Bima Arya, selain sebagai Walikota Bogor, juga Ketua DPP Bidang Politik dan Komunikasi PAN.

Ini memperkuat lagi dugaan tentang khabar pecah kongsi antara keduanya. Sebab, sebagai partai koalisi pada Pilkada 2013, maka sesungguhnya keduanya cukup diwakili oleh salah satu saja. Sedemikian rupa, kehadiran keduanya di acara yang sama memunculkan tafsir bahwa keduanya seolah mewakili diri masing-masing, atau mewakili partai masing-masing.

Baca juga  Plt Bupati dan Kajari Cibinong Tempel Sticker Anti Korupsi

Tiga Poros Politik

Belum ada konfirmasi mengenai pecah kongsi Bima-Usmar. Namun, sejak Pilkada Kota Bogor 2013, memang terjadi perubahan dalam peta koalisi partai politik.

Peta koalisi mengalami perubahan karena beberapa faktor. Antara lain merebaknya pemberitaan tentang keterlibatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi kasus KTP elektronik atau e-KTP. Status tersebut memunculkan wacana baru di mana Partai Golkar secara terbuka menyatakan akan mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.

Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung panas April 2017 lalu juga mempengaruhi peta koalisi partai. Peta koalisi partai itu kemudian mengkristal setelah Sidang Paripurna DPR melakukan voting terkait angka presidential threshold pada RUU Pemilu.

Dalam voting, enam partai yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura memberikan suara ke kubu pemerintah yang menginginkan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. Sementara empat partai lainnya yakni PKS, Gerindra, PAN dan Demokrat memilih walk-out karena menginginkan presidential threshod nol persen.

Voting itu mendorong terjadinya tiga poros politik di Indonesia. Yakni poros Teuku Umar (kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri), poros Hambalang (kediaman pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto) dan poros Cikeas (kediaman pendiri dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yuhdoyono/SBY).

Prabowo Subianto dan SBY setelah Paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu, sempat memunculkan spekulasi bersatunya poros Hambalang dan poros Cikeas. Tetapi ternyata tidak. Poros politik tetap terbagi tiga, yakni Poros Teuku Umar beranggotakan PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB. Poros Hambalang beranggotakan PKS dan Gerindra, dan poros Cikeas beranggotakan Demokrat dan PAN.

Baca juga  Ade Sarip: Bus Sekolah Gratis Realisasi Janji Kampanye Bima-Usmar

Tiga poros politik yang terbentuk di tingkat nasional ini, belakangan dilebarkan ke daerah, terutama Jawa Barat. Pelabaran itu dianalisis disebabkan beberapa faktor. Pertama, kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang diusung PKS-Gerindra pada Pilkada DKI Jakarta April 2017. Kedua, hegemoni koalisi PKS – Gerindara di Jawa Barat yang ditandai kemenangan Ahmad Heryawan dalam dua kali Pilgub Jabar. Ketiga, kekalahan Jokowi-Jusuf Kalla di daerah pemilihan Jawa barat pada Pilpres 2014.

Poros Teuku Umar yang akan kembali mengusung Jokowi pada Pilpres 2019, dianalisis tidak ingin mengalami kekalahan lagi di dapil Jawa Barat. Poros Teuku Umar yang berhasil memenangi Pilpres 2014 di dapil Jawa tengah dan Jawa Timur, juga ingin menenangi Pilpres 2019 di dapil Jabar. Dapat dipahami, karena memenangi pilpres di tiga dapil pemilik suara terbesar di Indonesia ini, berkontribusi sekitar 62 persen untuk memenangi pilpres secara keseluruhan.

Tanda-tanda poros Teuku Umar ingin atau berupaya kuat memenangi pilpres di dapil Jabar sudah mulai terlihat dari surat resmi Ketua DPD Golkar Jawa Barat yang meminta Golkar dan PDIP di tingkat kabupaten kota di Jawa Barat melakukan koalisi.

Bagaimana dengan PPP, PKB, Hanura dan Nasdem yang juga elemen poros Teuku Umar? Apakah ditinggalkan atau dibiarkan bebas menjalin koalisi dengan partai yang diinginkan? Tentang hal ini mulai merebak khabar bahwa empat partai ini sengaja tidak dikonsolidasi, karena diperankan sebagai partai pemecah hegemoni koalisi PKS-Gerindra di Jawa Barat.

Baca juga  Masih Terbengkalai, Iwan Darmawan Nilai Pemkot Perlu Evaluasi Perjanjian dengan PT PGI

Bima-Usmar

Bagaimana dengan Bima-Usmar di Kota Bogor yang dikhabarkan kini jadi dua alias pecah kongsi? Rasanya, Jakarta akan menganjurkan Bima-Usmar tetapi satu. Sebab, PKB dan Gerindra yang ikut mengusung keduanya pada Pilkada Kota Bogor tahun 2013, akan kembali ke poros masing-masing, PKB akan kemebali ke poros Teuku Umar sedang Gerindra akan kembali ke poros Hambalang.

Praktis dari lima partai yang mengusung Bima-Usmar pada Pilkada 2013, akan tinggal tiga partai yakni PAN, Demokrat dan PBB. PAN dan Demokrat sama sama sama berada dalam poros Cikeas sementara PBB, mengingat keberadaan MS Kaban yang mantan Menteri Kehutanan dalam Kabinet SBY, maka kecenderungannya juga berada dalam poros Cikeas.

Ketiga partai ini memiliki 9 kursi di DPRD Kota Bogor (PAN 3 kursi, Demokrat 5 kursi dan PBB 1 kursi). Sembilan kursi ini cukup untuk kembali mengusung pasangan Bima-Usmar maju pada Pilkada 2018 mendatang. Oleh sebab itu, Jakarta diperkirakan akan menganjurkan Bima-Usmar tetap menjadi satu kesatuan.

Isu yang berkembang, SBY melalui Wakil Ketua Umum Demokrat Sjarifuddin Hasan memang pula sudah pernah menganjurkan Bima-Usmar kembali bersatu dan maju dan kembaki berpasangan sebagai walikota dan wakil walikota. Namun, dikhabarkan, kebersatuan keduanya belum seutuh sebelumnya.

Tidak diketahui secara persis apa yang memicu isu perpecahan antara keduanya. Yang muncul hanya dugaan, yakni terkait kasus yang sering dibicarakan komunitas politik Kota Bogor.

Namun anjuran SBY melalui Sjarifuddin Hasan ditambah terbentuknya tiga poros politik di tingkat nasional, tampaknya akan membuat Bima-Usmar kembali bersatu dan memastikan koalisi PAN, Demokrat dan PBB tidak pecah agar memenuhi syarat maju kembali pada Pilkada 2018 mendatang [] petrus barus

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top