Kab. Bogor

Guru Besar IPB : Daun Jambu Biji Hambat Replikasi Virus

BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Indonesia memiliki segudang bahan alam yang mampu menghasilkan metabolit sekunder yang berkhasiat bagi kebugaran tubuh yang dijadikan sebagai terapi untuk melawan covid-19.

Hal ini dikemukakan Prof Dr Irmanida Batubara dari Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang juga Kepala Pusat Studi Biofarmaka Tropika, LPPM IPB University dalam Webinar “Eksistensi Universitas dalam Menunjang Diagnosis dan Terapi Covid-19 yang Aktual dan Rasiona, Kamis (8/10/2020).

Webinar yang digelar oleh dosen IPB University yang tergabung dalam Prajab 05 ini menghadirkan sejumlah pakar, salah satunya Prof Irmanida Batubara.

Dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Kamis (8/10/2020), Prof Irmanida mengatakan, sebagai pencegahan dari paparan COVID-19 dan meningkatkan daya tahan tubuh, Prof Irmanida mengatakan, bahwa berdasarkan Ristoja, Indonesia memiliki segudang bahan alam yang mampu menghasilkan metabolit sekunder yang berkhasiat bagi kebugaran tubuh.
Sehingga melalui serangkaian riset, bahan alam atau jamu tersebut mungkin saja dapat dijadikan sebagai terapi bagi pasien COVID-19.

Baca juga  FEM Bersama Departemen IE IPB University Masuk dalam 25 Persen Institusi dan Ekonom Terbaik di Indonesia Versi IDEAS/RePEc

Misalnya, jambu biji yang telah digunakan sebagai antivirus pada 305 ramuan. Disusul dengan kunyit, bambu, kelapa dan sebagainya yang dinilai dapat mengurangi efek penyerta atau komorbid.
Riset selanjutnya berfokus pada daun jambu biji yang memiliki efektivitas yang lebih baik daripada bagian tanaman lainnya berdasarkan model prediksi yang berpotensi sebagai antivirus dari SARS-Cov2 menggunakan farmakomodeling berbasis struktur dan ligan.

Hasil riset menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji dapat menghambat replikasi virus berdasarkan interaksi senyawa metabolit tersebut. Namun, untuk saat ini, riset lanjutan farmakodinamik baru akan dilakukan dan uji klinik masih jauh dalam jangkauan.

Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki growth mindset di saat pandemi seperti ini agar mudah beradaptasi dan dapat menemukan cara-cara baru untuk mengatasi permasalahan yang ada.

Sementara itu, dr Darwati dari Poliklinik Sekolah Vokasi IPB University mengatakan, bahwa diagnosis COVID-19 harus dilakukan secara komprehensif karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, hanya menyerang saluran pernapasan atas. Terkadang pasien yang datang menunjukkan gejala diare dan lemas atau tanpa gejala sama sekali. Sehingga perlu adanya analisis tepat guna sehingga status pasien dapat ditentukan dan tertangani tanpa adanya false screening atau hasil pemeriksaan yang keliru.

Baca juga  Wabup Iwan : Bogor Target Ciptakan 200 Destana di 2020

“Pemeriksaan secara komprehensif, disamping melalui test PCR, yang kadang bisa keliru, juga dibutuhkan dalam menegakkan diagnosa COVID-19. Mulai dari pemeriksaan laboratorium hingga radiologi. Rapid test bukan acuan diagnosis namun lebih bertujuan untuk penelitian atau epidemiologi,” ujarnya.

Dari sisi pengujian sample, Dr drh Huda S Darusman, dosen IPB University dari Fakultas Kedokteran Hewan sekaligus  Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University mengatakan bahwa laboratorium IPB University telah menerima 4000 (sampel) dan semua dilaporkan di bawah 48 jam.

“Dalam pengembangan fasilitas dan tata kelola laboratorium pengujian COVID-19 skala universitas, harus selalu dimulai berdasarkan dokumentasi hingga cross check standard operasional prosedur (SOP). Informasi penyimpanan sampel juga harus diketahui secara menyeluruh. IPB University sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki izin sebagai laboratorium rujukan,” imbuhnya.

Baca juga  Rudy Susmanto - Jaro Ade Optimistis MK Tolak Permohonan Musyafaur Rahman

Sementara itu, Dr drh Okti N Poetri dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB University memaparkan bahwa kultur virus merupakan metode paling tepat dalam uji diagnostik, namun langkah tersebut sulit dilakukan karena sifat COVID-19 yang berbahaya.
Ia pun menunjukkan bahwa tubuh baru akan memproduksi antibodi setelah tujuh hari terpapar sehingga isolasi mandiri selama 15 hari merupakan langkah terbaik untuk mencegah penularan lebih lanjut.

“Sehingga pemeriksaan PCR yang dilakukan di hari ke-0 hingga ketujuh akan menunjukkan hasil positif sementara tes rapid akan menunjukkan hasil negatif (tidak reaktif) karena antibodi atau imunoglobulin-G belum terbentuk. Jadi kenapa ini bisa terjadi, PCR-nya positif rapid-nya negatif, PCR-nya positif rapidnya positif atau PCR-nya negatif rapid’nya positif, kira-kira seperti itu kronologinya,” jelasnya. [] Admin

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top