BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Wali Kota Bogor Bima Arya mengungkapkan ada temuan di lapangan terkait bantuan sosial yang diduga tidak tepat sasaran.
Hal itu dikemukakan Bima Arya saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VIII DPR RI dengan agenda membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan di daerah di Gedung Nusantara II, Komplek DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Selain Wali Kota Bogor Bima Arya, turut hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan Pemkab Tangerang, Pemkot Serang, Pemkab Cianjur, dan Pemprov DKI Jakarta.
“Ketika menjelang Lebaran, pasar penuh. Saya turun ke lapangan, melihat ibu-ibu belanja pakaian, kami lihat KTP-nya. Kira-kira enam dari sepuluh ibu-ibu itu merupakan penerima bantuan sosial dari pemerintah. Begitu diambil KTP, NIK kita masukan ke sistem SALUR kita, mudah saja lewat ponsel kita bisa cek itu,” ujar Bima.
Menurut Bima, data ini merupakan persoalan serius, bukan sekedar administratif tapi mungkin juga ke ranah filosofis. “Artinya, jika tadi disebut bahwa survey itu persepsi, maka miskin juga persepsi. Persepsi miskin dari kita ke mereka berbeda. Persepsi miskin diantara mereka juga berbeda. Ini pangkal utamanya di sini. Ketika semua merasa berhak karena nomenklatur miskinnya tidak dipahami dengan sama oleh semua. Jadi, hari ini 80 persen dari warga di setiap daerah, mengaku miskin dan terpapar,” terang Bima.
Bima menyatakan, harus ada penyederhanaan varian kategori bantuan yang akan disalurkan supaya tidak ada tumpang tindih penerima. “Menurut saya mutlak perlu disederhanakan dan dipertegas nomenklaturnya ini. Miskin struktural, miskin terpapar seperti apa. Jadi, yang darurat itu kita kategorisasi lagi. Oke darurat tidak bisa makan, tapi kan beda. Ada yang dua bulan makan daun singkong, ada yang dua bulan nongkrong di rumah karena dirumahkan,” katanya.
“Jadi saya kira kita harus bersepakat. Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir, tapi ini penting karena untuk masa depan juga. Nomor dua tentang data yang berubah-ubah. Betul, bahwa musyawarah kelurahan naik ke pemerintah kota, dinsos melakukan verifikasi validasi. Tapi verifikasi ini sifatnya administratif, menyesuaikan dengan NIK, menyesuaikan dengan KK dan lain-lain. Jadi ketika berubah, warga bingung.” terang Bima.
“Berikutnya, decision making process kita harus diperbaiki. Jadi, sering kali berubah. Arahan dari pusat semua didata, semua dibantu, abis itu, berubah lagi ada sistem kuota. RT sudah kepalang bergerak di lapangan. Sekarang di atasnya berubah, kita berjibaku di lapangan. Ini persoalan. Saya kira DPR bisa menyampaikan ini ke kementerian. Jangan kemudian berubah, kalau belum ada datanya, jangan dulu buat keputusan, jangan dulu buat announcement,” kata dia.
“Ini harus ajeg dari awal. Presiden instruksi kepada menteri, ini koridornya, ini filosofinya, disepakati disitu. Menteri sepakat turun gubernur, gubernur sepakat turun ke daerah. Kan enak semuanya,” pungkasnya. [] Hari