Pusat Studi Bencana IPB University Bahas Upaya Antisipasi Kerawanan Pangan di Nusa Tenggara
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pusat Studi Bencana (PSB) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University bekerja sama dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI kembali menggelar Bimbingan dan Teknis Sosialisasi Propaktani dengan tajuk “Antisipasi Kerawanan Pangan di Kepulauan Nusa Tenggara” secara daring, Selasa (22/11/2022). Bimbingan teknis ini bertujuan untuk semakin memperkaya wawasan terhadap kearifan lokal yang dimiliki Nusa Tenggara dalam mengantisipasi kerawanan pangan.
Dr Doni Yusri, Kepala PSB LPPM IPB University mengatakan upaya antisipasi ini difokuskan kepada mitigasi bencana. “Caranya dengan menyesuaikan solusi dan teknologinya supaya semakin tangguh dan terintegrasi dalam menghadapi risiko ketika bencana hadir, khususnya dalam kondisi kerawanan pangan,” ujarnya.
Menurutnya, mitigasi bencana bisa melalui langkah penyelamatan, pemulihan, pemberdayaan, dan perlindungan, ketika bencana itu hadir. Solusi terhadap mitigasi bencana juga tidak hanya dari sisi infrastruktur.
“Kebijakan juga menjadi dasar penguatan langkah ini. Upaya ini dilakukan dengan penguatan rantai logistik pangan terutama di wilayah rawan bencana, membangun masyarakat tangguh bencana, hingga memperkuat kearifan lokal,” imbuhnya.
Ia menuturkan, dalam menghadapi kerawanan pangan berujung kepada pembangunan pertanian yang tangguh.
“Kita tidak hanya bertumpu pada persoalan produksi tetapi juga peningkatan kesejahteraan petani secara individual dan anggota masyarakat. Pertanian berkelanjutan ini memiliki dua hal penting, pertama mengintegrasikan agroteknologi baru ke dalam sistem pertanian yang telah ada. Kedua pendekatan yang komplementer antara teknofarming dan ecofarming,” ungkapnya.
Murdianto dari PSB LPPM IPB University menambahkan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat tani dalam mengantisipasi kerawanan di Nusa Tenggara juga krusial. Berdasarkan kajian pemuda NTT, wilayah ini rawan pangan terutama akibat serangan hama belalang. Menurutnya, hal ini bisa dilakukan dengan sosialisasi pangan lokal atau diversifikasi pangan. Upaya ini harus segera diwacanakan sebagai program pemerintah melalui pelatihan dan pemberdayaan masyarakat yang bersifat kerakyatan agar mampu menyentuh kepentingan lokal.
“Masyarakat tani binaan juga tidak dilepas begitu saja, namun dilakukan pendampingan dalam penerapan antisipasi dan pencegahan kerawanan pangan. Masyarakat tani Indonesia, terbilang lemah di sisi kelembagaan sehingga harus dibimbing agar mampu mandiri,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemberdayaan masyarakat yang bersifat post-strukturalis dengan mengubah diskursus serta menghargai subjektivitas dalam pemahaman realitas sosial di lapangan lebih cocok untuk diterapkan, yakni pendekatan yang bertumpu pada masyarakat. (MW/Zul)