Kab. Bogor

Pakar IPB Tanggapi Heboh Kampanye Nikah Dini Aisha Wedding

Dr Tin Herawati, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) IPB University

BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Pakar IPB University tanggapi heboh kampanye nikah dini dari Aisha Wedding.

Dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Senin (15/2/2021), Dr Tin Herawati, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) IPB University mengatakan, salah satu faktor penting yang harus dipersiapkan untuk memasuki pernikahan adalah usia menikah.

Persiapan usia sangat penting karena terkait dengan kematangan fisik, mental, emosi dan ekonomi.  Khusus bagi para perempuan, persiapan usia juga berkaitan dengan kesiapan kehamilan dan kesiapan menerima kehadiran bayi yang dilahirkan.

Ketidaksiapan usia saat menikah atau dikenal dengan pernikahan anak masih banyak terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2000) menyebut prevalensi perkawinan anak pada tahun 2018 adalah 11.21 persen atau lebih dari 1 juta perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 0,56 persen (61,3 ribu) perempuan usia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun.

Baca juga  Pengusaha Galian Tambang Rumpin Tak Sabar Menunggu Jembatan Sikeng Selesai Dibangun

Pernikahan anak yang disertai dengan kurangnya persiapan akan menimbulkan tugas-tugas dalam kehidupan keluarga kurang berjalan dengan baik dan rendahnya kepuasan pernikahan sehingga memiliki risiko perceraian yang lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan anak memiliki kesiapan menikah yang rendah, terutama kesiapan finansial, mental, intelektual dan kesiapan kehidupan berkeluarga. Pelaku pernikahan anak pada umumnya memiliki pendidikan rendah yang berdampak pada pendapatan yang diterima, bahkan ada juga yang belum memiliki sumber pendapatan, yang akan berdampak pada rendahnya kepuasan pernikahan.

Dr Tin Herawati, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) IPB University mengatakan untuk memasuki gerbang pernikahan, seseorang harus mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga.  Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan muncul permasalahan dalam kehidupan keluarga yang berujung pada perceraian.

Menurutnya, usia pernikahan di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU  No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

Baca juga  Liga Inggris: Arsenal Berharap Man-City Terpeleset Lawan Wolverhampton

Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan anak adalah rendahnya pengetahuan orangtua,  kondisi ekonomi, budaya, dan kehamilan di luar nikah akibat seks bebas.

“Kesiapan mental yang rendah pada pernikahan anak biasanya dihadapkan pada ketidaksiapan menghadapi situasi setelah menikah, termasuk tidak siap dalam mengasuh anak yang dilahirkannya,” ujarya.

Selanjutnya Tin Herawati menjelaskan bahwa kesiapan mental sangat penting untuk mempersiapkan kemungkinan yang terjadi  dan mengantisipasi risiko dalam kehidupan pernikahan.  Jika tidak memiliki kesiapan mental maka akan tertekan dan stres ketika menghadapi permasalahan pernikahan.  Rendahnya kesiapan intelektual pada pernikahan anak ditunjukkan dengan belum optimalnya mempersiapkan pengetahuan dan informasi terkait kehidupan pernikahan, cara merawat kehamilan, mengasuh anak dan mengelola keuangan.

Baca juga  Indonesia Miliki 28 Juta Dosis Vaksin Covid-19

Dengan kesiapan intelektual yang baik, menurutnya, maka semakin banyak pengetahuan dan informasi yang diperoleh yang dapat membantu mengatasi permasalahan atau hambatan. Jika tidak memiliki kesiapan intelektual maka akan menyebabkan kesalahan dalam memecahkan masalah yang dapat memicu pertengkaran.

“Dengan rendahnya kesiapan dalam kehidupan berkeluarga,  pada umumnya pelaku pernikahan anak belum memahami tentang kehidupan keluarga. Termasuk tidak paham dalam melaksanakan fungsi, peran dan tugas dalam kehidupan berkeluarga. Jika tidak paham akan hal tersebut maka akan memicu konflik dalam keluarga dan berujung pada perceraian.  Mengingat beberapa permasalahan yang ditemukan pada pernikahan anak, maka sebaiknya pernikahan disiapkan dengan baik untuk mencapai tujuan yaitu keluarga bahagia,” imbuhnya. [] Admin

 

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top