OPINI: Heboh Kasus Staycation Cikarang, Apakah Korporasi Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Pidana?
Oleh: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Dhea Anzaliya
Samudra Farasi Putra
Yuli Yanti Laisouw
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Saat ini pembahasan mengenai kasus seorang karyawati di sebuah perusahaan di Cikarang Bekasi yang diajak bosnya staycation masih ramai diperbincangkan.
Seorang karyawati berinisial AD berusia 23 tahun melaporkan bosnya ke Polres Bekasi. Hal tersebut dilakukan karena adanya dugaan pelecehan seksual dimana jika AD ingin melakukan perpanjangan kontrak kerja harus terlebih dahulu mau diajak staycation atau liburan untuk bermalam dengan manajer sebagai syarat agar perpanjang kontrak kerja dapat diterima.
Pada kasus ajakan staycation oleh atasan kepada karyawati untuk memperpanjang kontrak di perusahaan Cikarang dalam hal ini telah memposisikan korporasi sebagai subyek hukum pidana, bahkan para pejabat dari Wakil Gubernur sampai ketua DPR-RI angkat bicara soal kasus ini.
Dalam kasus ini pelaku dituntut dengan dua pasal yang terkait dengan pelecehan seksual, baik secara fisik maupun non fisik, yang dimana penyalahgunaan wewenang oleh atasan diancam dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4).
Ayat (1) menyebutkan Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Ayat (2) menyebutkan Dalam hal Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat Korporasi, dan/atau Korporasi. Ayat (3) menyebutkan Selain pidana denda, hakim juga menetapkan besarnya Restitusi pelaku Korporasi. Ayat (4) menyebutkan Terhadap Korporasi dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa: perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam kasus tersebut perusahaan juga dapat terkena pertanggungjawaban korporasi sesuai dengan Pasal 3 PERMA Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.
Selain Undang-Undang No 12 Tahun 2022 dan PERMA Nomor 13 Tahun 2016, Manager juga dapat dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan Pasal 289 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Manager dengan alasan mengatasnamakan perusahaan, dengan sengaja mengajak karyawati AD untuk staycation di sebuah hotel dengan imbalan perpanjangan kontrak kerja. Hal itu tentu saja melanggar prosedur perpanjangan kontrak kerja, yang sebenarnya sudah jelas bahwa tidak adanya aturan mengenai karyawati harus staycation terlebih dahulu dengan manajernya agar perjanjian perpanjangan kontak kerja dapat diterima. Korporasi juga harus memantau kesehatan dari perusahaan tersebut, baik dari direktur, manager, dan jabatan lainnya yang jika ada penyimpangan diluar prosedur perusahaan harus ditindaklanjuti. Maka dari itu, bukan hanya manager saja yang dikenai sanksi pidana, namun korporasi pun bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dengan berbentuk ganti rugi yang dialami korban.
Menurut Vicarious Liability Theory ini terdapat pertanggungjawaban pengganti atas manager selaku pemilik atau kewenangan korporasi, yang diwujudkan sebagai kehendak atau mens rea dari sebuah korporasi. Pelaku atau servant yang mewakili perbuatan majikan yang dalam hal ini bertindak atas sepengetahuan dan/atau kehendak manager itu sendiri dapat dikategorikan sebagai actus reus dari sebuah korporasi. Pelaku yang merupakan pegawai korporasi tersebut diatas tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, dikarenakan yang bersangkutan bertindak bukan atas kuasanya sendiri, melainkan melalui kuasa dari manager. Oleh karena itu, pengurus menjadi pihak yang paling dipersalahkan dalam hal korporasi melakukan perbuatan pidana.
Terkait model pertanggungjawaban korporasi, Mardjono Reksodiputro menjelaskan terbagi atas tiga bentuk pertanggungjawaban, yakni: (1) pengurus korporasi sebagai pelaku dan pengurus yang bertanggungjawab; (2) korporasi sebagai pelaku dan pengurus bertanggungjawab; (3) korporasi sebagai pelaku dan korporasi bertanggungjawab. Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeini menambahkan model baru pada pertanggungjawaban korporasi: pengurus dan korporasi sebagai pelaku serta keduanya bertanggungjawab. []
Konten ini di luar tanggungjawab redaksi