Oleh
R MUHAMMAD MIHRADI, S.H.,M.H
Dekan FH Universitas Pakuan
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Aroma apatis. Alergi atau anti politik. Sering dilekatkan pada generasi millennial. Seakan terdapat bingkai hitam dalam mindset millennial ketika bertemu semantik politik. Padahal, jika prasangka itu benar. Maka, kerugian bagi bangsa. Sebab, masa depan negara berada di tangan mereka.
Bisa jadi persepsi demikian lekat akibat distorsi demokrasi pasca reformasi. Meski alam reformasi menyajikan ‘mimpi surga demokrasi’. Semua pejabat publik strategis dipilih langsung rakyat. Namun, mereka, representasi rakyat dipilih tadi, terjangkiti wabah akut korupsi. Data tahun 2005-2012 saja, terdapat kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung yang tersangkut masalah korupsi mencapai 173 orang atau 37 persen dari total kepala daerah se-Indonesia hasil pilkada langsung. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu merupakan terpidana berkekuatan hukum tetap. Begitu pula hampir 2.000 anggota DPRD terkait kasus korupsi. Selain itu lebih parah lagi tumbuh praktik kolutif dan nepotisme melalui “dinasti politik”, “politik bosisme” dan “politik oligarkis” kepartaian. Semua akibat biaya politik mahal dan menjamurnya partai politik minus kapasitas.
Dimensi Legal
Secara legal, baik UUD 1945 pra dan pasca amandemen, pernyataan Indonesia negara hukum dan negara demokrasi sudah dituliskan. Demikian pula berbagai perundang-undangan, melekatkan Indonesia negara hukum sekaligus negara demokrasi. Namun legislasi saja tidak cukup. Harus ada komitmen. Tekad serta konsistensi mulai dari pembentuk hukum sampai penegakan hukum yang memiliki mimpi sama. Indonesia demokratis bebas korupsi.
Nyatanya tidak mudah. Sedari awal, hukum dibentuk seringkali sekedar membungkus telanjang kepentingan purba politisi akan syahwat kekuasaan. Seperti pada kasus Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana bakal calon anggota DPR, DPRD Prov/Kab/Kota yang pernah dipidana dengan dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih masih bisa mencalonkan sepanjang “secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Maka ketentuan tersebut membuka eks terpidana korupsi mencalonkan diri sepanjang memenuhi ketentuan di atas. Pencalonan itu tanpa jeda. Begitu bebas, seketika bisa menjadi bakal calon. Logika hukum seperti ini jelas menusuk ke jantung keadilan publik
Regulasi berbalut busuk tadi semakin kompleks ketika dihadapkan budaya digital sebagai dampak revolusi industri 4.0. Menurut Bambang Sugiharto (2019:123-125) ada tiga paradoks budaya digital.
Pertama, sifatnya integratif sekaligus fragmentaris. Arsitektur teknis digital memungkinkan terhubungnya semua dengan semua. Seolah menyatu manusia sejagat raya. Namun isi (content) ternyata berpotensi memecah belah atau melahirkan polarisasi di masyarakat. Apalagi di era post-truth yang ditandai merajalelanya ‘hoax’ maka semakin memperburuk kondisi.
Kedua, kondisi kaya informasi namun melahirkan kedangkalan berfikir. Informasi cepat datang dan pergi dari segala arah. Pengetahuan begitu meluas. Memungkinkan siapapun terpelajar tanpa sekolah. Namun kenyataannya pola pikir, pola hubungan dan perilaku manusia kini justru seperti tidak tampak terpelajar. Malahan cenderung reaktif, emosional, dangkal dan tidak reflektif.
Ketiga, individu semakin diberdayakan sekaligus semakin mudah teperdaya, bahkan tak berdaya. Kini kekuasaan paling berpengaruh tidak lagi terletak pada para pemimpin negara adikuasa atau pemilik bisnis raksasa. Melainkan pada pemain teknologi kreatif. Termasuk pula pada orang iseng yang hobi menciptakan meme atau hoax. Atau owner Grab dan Traveloka. Hal ini menuntut kearifan dan kematangan individu.
Gagasan
Demokrasi elektoral hadir awalnya membawa janji perubahan. Kita bisa menghukum sekaligus memberikan apresiasi pada siapa saja sesuai prestasinya. Namun, ketika politik uang merajalela, maka tujuan demokrasi elektoral tadi mengalami kemacetan. Dalam konteks demikian, maka generasi millennial sebenarnya bisa berperan banyak.
Pertama, mereka harus menjadi subjek sadar demokrasi. Keterampilannya memanfaatkan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menjadi agen perubahan sosial. Melalui kecerdasan dan kepekaannya,generasi millennial bisa berbuat banyak. Seperti mendesain dan mengemas kampanye memikat calon pemilih pasif untuk memilih misalnya.
Kedua, generasi millineal memiliki tradisi share and care. Ini bisa menjadi modal sosial. Berbagi informasi soal-soal nilai dasar demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan dan negara hukum misalnya. Termasuk pula dapat menangkal radikalisme dan menjadi ujung tombak penanaman nilai Pancasila.
Ketiga, generasi millennial adalah generasi kritis. Tidak suka diperalat. Peka terhadap derita publik. Dan bagi generasi millennial terdidik, bisa melakukan fungsi edukasi pada masyarakat. Dengan begitu, masalah demokrasi seperti politik uang dapat diminimalisasi oleh generasi ini.
Tentu untuk mewujudkan gagasan di atas perlu kerja keras sibernetik dua belah pihak. Generasi millennial mau peduli demokrasi dan aktor kelembagaan demokrasi seperti pemerintah dan pers misalnya menyediakan ruang pendampingan untuk melatih kepekaan mereka. Tidak mudah tapi tidak juga mustahil. Dewasa bersama proses menjadi pass word-nya. [] Admin