Laporan Utama

Liga Inggris dan Bantuan Sosial

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Meski pertunjukan hanya berdurasi 90 menit, tapi sepak bola di Inggris sudah bagian dari guliran roda ekonomi Inggris, lebih dari 90 tahun.

English Premier League (EPL) mampu mengontribusi 3.8% pemasukan untuk negara.

Sebab itu, sepak bola Inggris menjadi inspirasi sepak bola dunia, termasuk Indonesia.

Sektor sosial dan budaya, ikut terangkat derajatnya. Bahkan, politik pun mampu dirangkul dengan mesra.

Filosofi Inggris dalam mengatur sebuah tontonan seperti sepak bola, prinsipnya sangat sederhana.  Yaitu mengatur aturan permainan itu sendiri dengan maanajemen yang tidak bertele-tele.

Liga Inggris, pertama kalinya digulirkan pada abad 19, tepatnya tahun 1888. Ketika itu, hanya 12 klub.

Tahun 1950, menjadi 92 klub. Sampai tahun 2020, klub sepak bola Inggris berkembang pesat menjadi 1.000 klub, lebih tepatnya 1.055 perhimpulan sepakbola (klub amatir dan profesional).

Sedangkan yang bertarung di EPL, kasta tertinggi Liga Inggris, hanya 20 klub. Kasta di bawahnya, ada 4 divisi, masing-masih diisi oleh 24 klub. Sisanya 939 klub tetap tanding tanpa liputan media. Maksudnya diliput medsos, tapi tidak dibeli hak siarnya oleh televisi.

Besaran ekonomi sepak bola Inggris juga luar biasa

Tadi disebut EPL mampu mengontribusi 3.8% pemasukan untuk negara. Besaran ekonomi EPL memang luar biasa, setidaknya dibandingkan dengan Indonesia.

Belanja Indonesia berkisar Rp2 ribu triliun per tahun. Jangan kaget, ternyata pendapatan Inggris hanya dari pajak EPL saja, setiap tahun, sebesar Rp62 ribu triliun (£3,3 milyar). Ini Rp2 ribu trilun adalah APBN Indonesia, sementara di Inggris, Rp62 ribu triliun hanya dari pajak sepakbola EPL.

Baca juga  Bansos Telur Pemprov Jabar Diganti Susu

Gross Valued Added atau GVA dari EPL, sebesar £7,7 miliyar atau Rp147.000 triliiun, atau kontribusinya 9% untuk negara.

Saat FIFA World Cup Rusia 2018, Inggris kalah tapi tetap untung. Karena The 3 Lions, walau  hanya sampai semi final saja, membuat penjualan produk seperti bir, sembako, jersey, nobar cafe, melonjak naik di Inggris.

Padahal di Inggris masih banyak tontonan lain, Six Nations Rugby, Cricket, F1, Wimbeldon, Badminton, Berkuda, Snooker.

Sejak covid-19, bantuan sosial atau bansos menjadi sangat populer di Indonesia. Setelah UU Ciptakerja disahkan DPR, muncul demo salah satunya terkait upah minimum atau UMK. Dua hal ini juga ada di Inggris.

Upah minimum penduduk Inggris, Rp40 juta per bulan. Kemakmuran Inggris terbukti dengan biaya obat, kesehatan, sekolah, nutrisi anak, semua gratis. Anak sampai 18 tahun, dapat uang saku. Anak lahir di luar nikah dapat pula perumnas gratis.

Pengangguran diberi gaji. Sebenarnya bukan digaji, tapi dinamakan social security atau bantuan sosial atau bansos. Bansos yang diterima tidak seberapa. Tapi perbandingannya jauh dengan Indonesia.

Kalkulasinya, jika diasumsikan upah minimum di Indonesia Rp2 juta, maka dapat bansos paling-paling Rp200 ratus ribu, 10 persen. Di Inggris, upah minimumnya Rp40 juta, berarti bansosnya berkisar Rp4 juta per bulan.

Baca juga  Hasil Lengkap Pekan 7 Liga Inggris: Leicester Menyodok, The Reds Kembali Ke Puncak Persaingan

Birokrasi di Inggris tidak ribet. Hanya dengan surat keterangan sakit pinggang, atau cuti kerja, setiap bulannya dijamin dapat bansos.

Mengapa pemerintah Inggris “berbaik hati” pada rakyat yang menganggur alias non-produktif? Bukankah penganggur itu “sampah negara”?

Justru pengganggur Inggris, menjadi “trigger” penyebab lahirnya pajak 3,8%.

Kembali ke sepakbola. Aturan sepak bola di Inggris sangat sederhana. Gampang dimengerti termasuk oleh kelas penganggur. Bukan seperti golf, yang sekadar permainan individu yang super mahal.

Sepak bola untuk dua tim, konsep permainannya membidik dua gawang, serta mencetak gol sebanyak-banyaknya.

Gerakan rekreatif. Kebebasan bersorak dalam limit waktu merasuk ke jiwa, emosi. Sepakbola seperti berkembang menjadi candu. Candu jadi sakau. Sakau menjadi rusuh jika tanpa bansos.

Ingat BONEK saat ngotot masuk Senayan, harus dengan modal rusuh. Dari naik kereta, makan di warteg, naik bis, masuk Senayan, pulang ke Surabaya, semua dengan modal ngamuk. Karena tidak punya uang.

Nah, dengan adanya bansos, keuntungan lebih banyak daripada merugi. Semisal harga tiket di Anfield Liverpool, berkisar antara Rp500 ribu sampai 2 juta. Yang lagi sakau dan menganggur bisa nonton bola menggunakan bansos. Maka, dengan dana bansos, penganggur didorong keluar rumah. Mulai dari pembelian tiket sudah nongol faktur pajak. Saat istirahat pasti jajan beli bir, ada pajak lagi. Beli bendera, pakai baju jersey, kena pajak lagi. Terus menerus bergulir dan berputar lagi.

Baca juga  Pogba Kembalikan Gengsi MU ke Puncak Klasemen Liga Inggris

Bansos untuk rakyat Inggris, yang sudah dimulai tahun 1948, ibarat penganggur tadi yang dianggap “sampah”, justru dinaikkan derajatnya ke level seperti “teller bank”. Disuruh mengambil, menyimpan dan mengeluarkan uang. Persis seperti kasir dengan hadiah nonton bola.

Suatu kali, saat meliput EPL, saya menyempatkan ngobrol dengan  sopir taksi, yang kebetulan suporter Newcastle United, padahal tinggal di London.

“Sulit banget mau nonton ke St. James Park. Tiketnya mahal, belum ongkos kereta,” kata si sopir.

“Jadi saya yang tadinya nganggur harus kerja bawa taksi untuk pemasukan ekstra,” katanya lagi.

Menurut sopir taksi, bansos tidak cukup. “Kereta api di sini (Inggris, Red) lebih mahal dari tiket penonton,” katanya.

Namun, setelah bekerja ekstra, akhirnya mampu membeli tiket terusan. Asa bisa karena biasa. Mampu karena terbiasa. Bansos adalah stimulus di Inggris.

Apa yang membuat Premier League besar? Salah satunya karena dorongan bantuan sosial terhadap pengganguran, yang sebagian besar adalah penonton English Premier League.

[]  Penulis: Erwiyantoro, adalah wartawan senior. Artikel ini ditulis tanggal 9 Oktober 2020, disadur atas seizin penulis dari akun FB Cocomeo Cacamarica milik penulis,

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top