Kisah Kampung Adat Urug dalam Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, masih ada komunitas adat yang teguh menjaga warisan leluhur. Salah satunya adalah Kampung Adat Urug di Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kampung ini menarik perhatian karena kearifan lokalnya dalam mengelola pertanian dan melestarikan lingkungan.
Minggu, 2 Juni 2024, tim PKM RSH IPB University yang terdiri dari Annisa Nurul Hasantie (KPM 58), Vina Novianti (AGH 58), Muhamad Fadili (MAN 58), Agung Nugraha (MAN 58), dan Yuswikha Asthafirdha Fisyhuri (MAN 58) melakukan kunjungan ke Kampung Urug yang didampingi oleh dosen pembimbing, yaitu Ibu Heru Purwandari, S.P., M.Si. dari Departemen Sains dan Komunikasi Pengembangan Masyarakat.
Dalam kunjungan tersebut diketahui bahwa mayoritas masyarakat Kampung Urug adalah petani. Mereka masih menggunakan cara-cara tradisional dalam bercocok tanam padi. Alat-alat yang digunakan pun masih tradisional, seperti etem (ani-ani) untuk memotong padi dan kerbau untuk membajak sawah.
Yang menarik, meski masih tradisional, sistem pertanian mereka terbukti lestari dan produktif. Seorang tokoh adat menjelaskan bahwa dari satu gedeng benih padi lokal (sekitar 7,5 kg) bisa menghasilkan 50 ikat padi. Ini menunjukkan tingkat produktivitas yang cukup tinggi.
Petani Kampung Urug tidak terlalu menghitung untung rugi secara finansial. Bagi mereka, yang terpenting adalah keberkahan dan kecukupan pangan. “Yang bisa cukup adalah memiliki semua kebutuhan hanya sebagai petani,” ujar sang tokoh adat. Sikap ini mencerminkan filosofi hidup yang tidak materialistis.
Salah satu tradisi penting di Kampung Urug adalah menyimpan hasil panen di lumbung padi atau leuit. Padi yang disimpan tidak boleh dijual, melainkan untuk konsumsi sendiri. Bahkan sang tokoh adat mengaku memiliki simpanan beras hingga 40 tahun!
Praktik ini terbukti ampuh dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat. Ketika harga beras naik dan banyak orang panik, warga Kampung Urug tetap tenang karena memiliki cadangan pangan yang cukup. “Kemarin harga beras dinaikkan, ramai, padahal pegawai negeri mendapat gaji setiap bulan. Bukan main-main, keren tidak ada yang bilang nasi mahal karena tidak beli nasi,” kata sang tokoh adat.
Masyarakat Kampung Urug juga memiliki kearifan dalam mengelola lingkungan. Mereka memiliki kawasan hutan larangan yang tidak boleh dieksploitasi. Hutan ini berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan sumber air bersih bagi warga.
“Jadi kalau sampai rusak itu hutan lindung, kurang kana air itu merugikan masyarakat ratusan ribu. Makannya dijaga ketat sama Abah,” jelas sang tokoh adat. Ia bahkan menolak tawaran dari pemerintah untuk mengelola hutan tersebut dan lebih memilih agar dikelola sebagai taman nasional.
Sikap ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Meski bukan pemilik resmi hutan tersebut, masyarakat adat merasa bertanggung jawab untuk melestarikannya demi kepentingan bersama.
Meski masih kuat memegang tradisi, Kampung Urug juga tak luput dari sentuhan modernisasi. Beberapa petani mulai menggunakan pupuk kimia, meski dalam jumlah terbatas. “Ya, termasuk pupuk kimia,” akui sang tokoh adat ketika ditanya soal penggunaan pupuk.
Modernisasi juga terlihat dari adanya program kartu tani dari pemerintah. Namun, sang tokoh adat mempertanyakan relevansi program tersebut. “Mereka sudah tahu bahwa mayoritas masyarakat Kampung Urug adalah petani, mengapa mereka membutuhkan kartu pertanian?” ujarnya.
Sikap kritis ini menunjukkan bahwa masyarakat adat tidak serta-merta menerima program dari luar, melainkan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kondisi lokal.
Salah satu tantangan terbesar bagi masyarakat adat adalah menjaga keberlangsungan tradisi di tengah gempuran modernisasi. Di Kampung Urug, hal ini dilakukan melalui berbagai upacara adat yang rutin digelar.
“Alhamdulillah dalam acara seren tahun sekali abah bisa setahun tiga kali (ponggokan, sedekah bumi, seren tahun).,” ungkap sang tokoh adat. Upacara-upacara ini menjadi media untuk mewariskan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda.
Selain itu, ada juga sistem pewarisan kepemimpinan adat yang unik. Pemimpin adat tidak dipilih berdasarkan kekayaan atau kepintaran, melainkan berdasarkan kualitas kepribadian. “Ada, sudah disiapkan. Menunggu Wangsit, yang dipilih bukan yang rajin, kaya, ceriang. Yang dicari yang bebas, bebas pikiran.” jelas sang tokoh adat.
Kisah Kampung Urug memberi kita beberapa pelajaran berharga:
- Kearifan lokal bisa menjadi solusi untuk masalah-masalah kontemporer seperti ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan.
- Modernisasi tidak harus berarti meninggalkan tradisi. Keduanya bisa berjalan beriringan dengan pendekatan yang bijak.
- Masyarakat adat memiliki pemahaman mendalam tentang lingkungannya, yang patut dihargai dan dipelajari.
- Nilai-nilai seperti keberkahan dan kecukupan bisa menjadi alternatif dari pola hidup materialistis.
- Pelestarian tradisi membutuhkan upaya aktif dan konsisten, termasuk melalui upacara adat dan sistem pewarisan nilai.
Keberadaan komunitas seperti Kampung Urug mengingatkan kita bahwa di tengah arus modernisasi, masih ada alternatif cara hidup yang lebih selaras dengan alam dan tradisi. Tantangannya adalah bagaimana menjembatani kearifan lokal ini dengan tuntutan zaman modern, sehingga tercipta model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.