Kebangsaan di Era Digital
Oleh : Muhammad Zidan Nurkahfi
(Aktivis dan Mahasiswa FH Univ Pakuan)
&
Raden Muhammad Mihradi, S.H., M.H.
(Pemikir Publik dan Dosen FH Univ Pakuan)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – ERA DIGITAL sebuah arus zaman yang niscaya dan sukar ditolak. Tentu, bukan soal digital yang kerap menjadi tantangan. Namun, bagaimana era digital tidak lantas mematahkan karakter bangsa. Era digital bukan pemaaf bagi cerai berai suatu bangsa. Malah, sepatutnya, era digital jadi momentum. Membangun kebangsaan dengan ciri, karakter dan dinamika kekinian.
Yang pasti, di zaman digital, peluang pembersihan sampah republik di ruang publik terbuka lebar. Korupsi, misalnya, tidak lagi leluasa dilakukan. Transparansi dan akses informasi demikian masif. Istilah no viral, no justice, seperti menjadi nutrisi baru penguatan kehidupan bernegara yang lebih baik.
Menggali Inspirasi Dari Bung Besar
Manifestasi kebangsaan di era digital, menurut penulis, harus dimulai dari menggali keteladanan dan pemikiran tokoh-tokoh bangsa. Salah satunya Bung Besar, Ir. Soekarno. Argumentasinya, Bung Karno merupakan termasuk salah satu tokoh yang paling berjasa di Indonesia bahkan namanya pun sampai dikenal dunia. Tampilnya Soekarno dengan nasionalisme atau paham kebangsaanya disadari sebagai pembuka keran bagi pembentukan ideologi guna merefleksikan dan mengaktualisasikan semangat kebangsaan. Bung Karno, memang bukan hanya pemimpin bangsa, melainkan tokoh yang dikagumi dan disegani oleh pemimpin dunia sezamannya. Walaupun ia seorang ahli teknik dengan gelar insinyur, namun ia mumpuni dalam banyak ilmu; politik, ekonomi, hukum, filsafat, sastra, seni serta sosial budaya dan lain-lain yang tak mungkin disebut satu persatu.
Nasionalisme menurut Soekarno merupakan kekuatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa gemilang bagi bangsa tersebut.
John B. Srijanto pernah mengemukakan Bung Karno merupakan seorang nasionalis yang amat kuat mencintai bangsa dan negara sehingga merasa terpanggil untuk bersama tokoh seangkatannya berjuang membebaskan Bangsa Indonesia dari penjajah Belanda. Kecintaan kepada bangsa dan tanah air merupakan alat yang utama bagi perjuangan Soekarno. Nasionalisme Soekarno dapat dikatakan sebagai nasionalisme yang kompleks, yaitu nasionalisme yang dapat beriringan dengan Islamisme yang pada hakikatnya non-natie dan relatif bergerak secara leluasa di dataran marginalitas yang mengenyampingkan pada intrik ras dan etnisitas.
Nasionalisme telah memegang peranan penting dan bersifat positif dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai demokratisasi yang pada gilirannya akan mampu melaksanakan pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan rakyat. Hal ini karena konsep nasionalisme merupakan dorongan yang mendasar dalam pengaktualisasian pendidikan humanisme yang mengarah pada eksistensi manusia merdeka, merdeka geraknya, merdeka lahir batinnya, sekaligus merdeka alam fikirnya.
Dalam narasi historis, Bung Karno pernah di tahun 1926 mengalami semacam “lompatan eksistensial” dalam memahami Tuhan. Beliau menyatakan bahwa “tahun 1926 adalah tahun di mana aku memperoleh kematangan dalam tiga dimensi.
Dimensi yang kedua dari tiga hal itu adalah ketuhanan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negara kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama” (Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2014; 88). Refleksi Bung Karno di atas bisa menjadi pijar perenungan untuk merajut ke-indonesia-an yang berbasiskan tiga kecerdasan: intelektual, emosional dan spiritual.
Menggali Relevansi
Penulis berpendapat, saat ini, gagasan tokoh pendiri bangsa di masa lalu, seperti mendapat momentum untuk diangkat kembali. Mendapat justifikasi relevansinya.
Pertama, era digital yang serba instant dan cepat dalam pergeseran pola perilaku maupun pemikiran, perlu mendapatkan refleksi agar memiliki makna. Konteks ini merupakan bagian dari berefleksi dengan pendiri bangsa di masa lalu untuk menemu kenali peta jalan bagi kejayaan Indonesia di era digital.
Kedua, praktik hidup sederhana namun kritis yang tercermin pada tokoh tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh besar lainnya, harus menjadi pemantik untuk hidup bersahaja di era digital namun bermutu dalam karya serta inovasi. Ini menjadi bagian kerja panjang dari ikhtiar meningkatkan peradaban bangsa.
Ketiga, melembagakan hukum progresif untuk koreksi terhadap paradigma kehidupan berbangsa yang seperti jauh dari nilai keadaban ketika praktik praktik manipulatif, korupsi dan kerusakan moral kerap terjadi. Melalui hukum progresif maka pembentukan hingga praktik hukum tidak melupakan identitas sebagai bangsa namun juga relevan dengan kebutuhan perubahan di masa digital dan di era milenial. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi bangsa besar dengan memanfaatkan kearifan masa lalu, keterampilan masa kini dan proyeksi ke masa depan dalam bingkai peradaban mutakhir yang bersenyawa dengan kebutuhan masyarakat di era digital.