Oleh: Dr David Rizar Nugroho, M.Si
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Jubir pemerintah untuk kasus Corona Achmad Yurianto akhir pekan lalu mengumumkan korban Covid 19 sudah tembus angka 2.000 dan hampir separuhnya ada di DKI Jakarta. Yang meninggal dunia tak lama lagi menyentuh angka 200 dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melansir data 17 di antaranya yang wafat adalah dokter. Faktanya yang meninggal dunia lebih banyak dari yang sehat. Angka-angka terus melonjak karena penularan masih terus terjadi.
Namun demikian, pemerintah masih kukuh dengan srategi rapid test dan pembatasan sosial yang katanya diperluas.
Kalau dua strategi itu berhasil logika sederhana saya korban berkurang, yang sembuh lebih banyak, yang wafat berkurang atau nol. Faktanya korban covid bertambah ratusan tiap hari dan yang wafat nambah terus.
Jangan salahkan masyarakat tidak patuh terhadap imbauan di rumah saja, wong cuma diimbau. Selain itu senjata pemerintah cenderung lebih pada upaya mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk korban, sepeerti sulap wisma atlet dari RS Darurat Covid-19, dan bangun rusmah sakit covid di Pulau Galang.
Menurut pendapat saya, seharusnya yang menjadi arus utama adalah pencegahan virus covid agar tidak cepat menular.
Caranya batasi mobilitas dan interaksi orang. Teknisnya? Banyak. Semua transportasi publik berhenti dulu. Penumpangnya di rumah saja sesuai anjuran pemerintah.
Dalam hal ini saya kritik presiden yang justru meninjau Wisma Atlet dan RS di Pulang Galang. Kenapa presiden tidak sidak ke Stasiun Bogor jam 6 pagi, atau ke Ke Bandara Soetta di pintu kedatangan internasional, ke terminal Kalideres atau Pulau Gebang melihat bus AKAP, ke mall dan lain-lain. Bisa dilihat langsung bener tidak pembatasan sosial itu berjalan baik atau tidak.
KRL Commueter Line pagi dan sore masih penuh. Orang orang asing masih bebas datang ke negara ini termasuk WNI China. Kesehatan mereka memang dicek tapi cuma dilihat suhu tubuh saja. Patut diingat kembali bahwa orang Indonesia pertama yang dinyatakan terkonfirmasi corona adalah orang Depok yang tertular dari WNA Jepang yang datang ke Indonesia.
Soal rapid test juga banyak dipertanyakan, karena jika positif harus diuji tes sekali lagi.
Soal mudik, tampak tidak ada kesatuan komando. Jubir Presiden mengatakan mudik boleh asal sampai daerah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Pernyataan ini dibantah Mensesneg yang mengatakan presiden berharap tidak mudik, dan yang tidak mudik diberikan bantuan.
Seharusnya pemerintah mengubah beberapa kebijakan dalam menangani covid-19. Pertama, ganti rapid test dengan SWAP atau PCR yang lebih akurat. Kedua, tracking untuk yang pernah kontak dengan korban covid dilakukan besar besaran dan mereka yang positif setelah ditest dipisahkan dari yang sehat. Ketiga, social distancing jalan terus dan keempat, isolasi wilayah.
Tidak perlu terjebak istilah lockdown atau karantina, yang penting DKI Jakarta sebagai episentrum, harus diberlakukan zero mobilitas dan interaksi.
Presiden sudah bikin paket-paket kebijakan ekonomi untuk masyarakat terdampak covid, mulai dari masyarakat miskin, sampai bayar listrik gratis 3 bulan.
Dengan aneka paket kebijakan itu seharus sudah tidak ada masalah apabila Jakarta diIsolasi. Soal makan, bisa bikin dapur umum di tiap RT, logistik dipasok pemerintah pusat dan DKi kerahkan tentara juga untuk dapur umum. Langkah ini seharusnya dicoba dulu satu bulan.
Keempat hal itu diljalankan secara pararel dan dilaksanakan dengan disiplin. Kultur masyarakat kita itu rada susah diatur. Tidak bisa model diimbau. Buktinya, lihat jumlah orang yang sudah mudik. Sebentar lagi, bisa jadi akan ada ledakan baru jumlah penderita covid di pusat-putsat mudik seperti Jatim, Jabar, Jateng yang dibawa oleh orang Jakarta yang mudik.
Tampaknya itu yang diantisipasi oleh Bupati Tegal yang cepat cepat mengisolasi wilayahnya. Bupati Tegal tahu bahwa pengusaha warteg di Jakarta didominasi orang Tegal dan akan mudik pada musim lebaran. Bupati mau menghalau orang Tegal yang di Jakarta dan sekitarnya agar jangan mudik dulu, nanti saja setelah covid beres. Bupati Tegal fokus ke pencegahan.
Dalam hal ini menjadi rancu ketika presiden minta Mendagri menegur kepala daerah yang mengunci wilayahnya dan meminta dibuka kembali dengan alasan agar logistik bisa masuk. Kalau pemerintah tidak tegas dan terus mengandalkan imbauan di rumah saja, kita pesimis angka korban covid bisa ditekan melandai.
[] Penulis, adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISiB Universitas Pakuan & Sekolah Vokasi IPB