BOGOR-KITA.com, BANDUNG – Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah gambaran ekonomi Jawa Barat saat ini. Namun, masih ada pertumbuhan. Pada triwulan I/2020 laju pertumbuhan ekonomi atau LPE Jabar, berada pada angka 2,73 persen.
Demikian kesimpulan mitigasi dampak COVID- 19 antara Kepala Divisi Stabilisasi Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Provinsi Jabar Rahmat Taufik dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Kota Bandung, Jum’at (15/5/2020).
Jatuh Tertimpa Tangga
Gambaran kondisi ekonomi Jabar yang jatuh tertimpa tangga pula itu, dikemukakan oleh Kepala Divisi Stabilisasi Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Provinsi Jabar Rahmat Taufik.
Jatuh karena terdampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Tertimpa tangga karena dampak pandemi covid-19.
Terkait dampak perang dagang Amerika dan China, Rahmat Taufik mengatakan, terjadi karena sebagian besar industri terutama di kawasan Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan sekitarnya semakin tertekan dengan pandemi COVID-19 ini.
Rahmat yang juga Kepala Biro Ekonomi Setda Provinsi Jabar mengatakan, tekanan terhadap ekonomi jabar sudah dimulai sejak akhir tahun 2019 akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
“Jawa Barat salah satu paling parah mendapat tekanan karena akhir tahun November, Desember 2019 terjadi perang dagang AS- China. Akibatnya laju ekonomi kita di bawah nasional, kerena bahan baku beberapa masih bergantung ke luar negeri, termasuk China,” ujarnya.
Ketika skala wabah covid-19 meningkat, banyak pelabuhan di China ditutup yang menghambat proses produksi, termasuk bahan baku untuk alat pelindung diri (APD).
“Inilah juga yang mengakibatkan banyak PHK,” kata Rahmat.
Rahmat mengatakan, Jabar memegang peran strategis dalam menopang perindustrian nasional. Sebanyak 20 persen pabrik manufaktur Indonesia ada di Jawa Barat dan hampir sebagian besar manufaktur ini tujuannya ekspor. “Automotif, elektronik, tekstil, hampir semua di Jawa Barat,” sebutnya.
Kemudian pandemi covid-19 masuk Indonesia. Pandemi berdampak pada pariwisata. Jawa Barat merupakan daerah tujuan wisata. Sementara tempat wisata semua ditutup, sehingga berbagai sektor terdorong juga untuk mundur seperti kuliner, perhotelan, dan tenaga kerja lain yang ada di pariwisata.
Ini berakibat pada daya beli masyarakat di Jawa Barat. Pangan juga terhambat, karena pasar induk mengurangi omzetnya, mengingat pasokannya juga berkurang. Kondisi saat ini, petani dan peternak pun kesulitan menjual komoditasnya karena tidak ada pembeli.
“Mei (seharusnya) puncaknya panen. Padi harusnya panen, peternak sudah menyiapkan pula untuk panen di bulan puasa dan lebaran, peternak kesulitan menjual. Ironi terjadi karena di tingkat produksi harga jatuh, tapi di tingkat konsumen harga tetap melambung tinggi. Maka inflasi masih meninggi,” kata Rahmat.
Direktur Kepala Grup Advisory dan Pengembangan Ekonomi, Kepala Kantor Perwakilan BI Jabar Pribadi Santoso menuturkan, dampak COVID- 19 memang multidimensi.
Dikatakan, laju pertumbuhan ekonomi Jabar yang biasanya maju di angka 5 persen bahkan di atas nasional, pada triwulan I/2020 LPE-nya ada di angka 2,73 persen.
“Sementara nasional 2,97 persen, penyusutannya lumayan dalam, dari sisi pertumbuhan ekonomi. Ini akan berpengaruh pada income, daya beli masyarakat juga, termasuk dunia usaha, saya kira semua terpengaruh,” katanya.
Namun demikian, Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan II dan Manajemen Strategis Kantor Regional II Jawa Barat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lasdini Purwanti, menyampaikan bahwa kinerja keuangan perbankan Jabar triwulan I/2020 masih cukup baik, walaupun turun dibanding tahun lalu.
“Tapi masih tumbuh kredit, kemudian juga DPK dan aset masih ada pertumbuhan di TW I ini. Kemudian kita harap tidak terlalu turun karena sudah ada berbagai stimulus yang dikeluarkan pemerintah, yang ditindaklanjuti juga oleh peraturan- peraturan OJK,” kata Lasdini.
Sementara NPL, menurut dia, masih terjaga karena adanya kebijakan restrukturisasi, di mana untuk kreditur yang mengajukan restrukturisasi dianggap kategori lancar. Sehingga perhitungan NPL tidak seketat sebelum ada pandemi.
“Jadi meskipun ada penurunan dibanding tahun lalu, cuma masih terjaga,” katanya.
Solusi
Pribadi Santoso mengatakan, upaya yang dapat dilakukan adalah menjaga daya beli masyarakat terutama masyarakat kurang mampu, di antaranya melalui bansos. Kedua, menjaga keberlangsungan aktivitas ekonomi dalam physical distancing, yakni menghidupkan pasar jual beli secara online bekerja sama dengan fintech.
“Kami juga meng-online-kan pasar tradisional, dengan bekerjasama dengan kepala dinas terkait pasar. Contoh kemarin pasar Cikurubuk online di Tasikmalaya, agar kegiatan ekonomi tetap berjalan tapi dilakukan secara higienis,” tutur Pribadi.
Terakhir, menyiapkan industri atau usaha yang kemarin tutup ketika dibuka bisa langsung beroperasi lancar, terutama UMKM. Harus dipastikan ketika PSBB dibuka unit usaha bisa langsung digerakkan.
“Kami sedang jajaki pilot projek terkait pengadaan gudang di daerah produsen, dan kota konsumen. Pemasoknya bisa didaerah dan konsumen di kota-kota, sehingga kegiatan ekonomi bisa berjalan meski belum ideal,” katanya.
Sementara Rahmat, mengatakan, untuk meminimalisasi dampak dari tertekannya berbagai sektor industri dan pertanian, Pemda Prov Jabar berkoordinasi dengan asosiasi pengusaha dan pemerintah kota kabupaten.
“Di sektor pangan kita masih melakukan berbagai koordinasi untuk penyerapan di sentra produksi, juga di berbagai pasar,” tambah Rahmat.
Sementara untuk masyarakat menengah/kecil, selain bansos dari pemerintah pusat, Pemda Prov Jabar bekerja sama dengan PT Pegadaian agar masyarakat tetap bertahan dan mengamankan asetnya.
Pemda Provinsi Jabar juga mengeluarkan Bantuan Tidak Terduga untuk menyerap produk APD yang dibuat oleh UKM. “Ini membuat Jawa Barat juga daerah penghasil APD di masa pandemi ini, sekaligus sedikitnya menyelamatkan ekonomi,” kata Rahmat dilansir dari Humas Pemprov Jabar. [] Admin