Dosen IPB University Jelaskan Penyebab Terjadinya Kekeringan dan Upaya Mitigasinya
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Indonesia adalah negara yang memiliki dua musim, salah satunya musim kemarau. Kekeringan yang melanda Indonesia di kala musim kemarau ini sering mengkhawatirkan petani.
Prof Asep Sapei, Dosen IPB University dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian menjelaskan bahwa kekeringan merupakan periode dimana suatu wilayah kekurangan air dalam waktu yang cukup lama. Sebagian wilayah Indonesia dapat mengalami kekeringan dan sebagian yang lainnya tidak mengalami. Bahkan pada daerah-daerah basah, di saat musim kemarau seringkali tetap mengalami kekurangan air.
“Periodenya dapat bervariasi, bisa berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Sehingga harus menjadi perhatian karena kekeringan tidak hanya terjadi di wilayah Timur Indonesia, namun wilayah Barat yang basah juga sering mengalami kekeringan,” pungkasnya dalam PodSIL (Podcast Teknik Sipil dan Lingkungan) Episode ke-8.
Menurutnya, penyebab utama kekeringan adalah curah hujan yang rendah di suatu daerah maupun karena siklus hidrologisnya. “Sebagian air hujan akan mengalami retensi, detensi, atau run-off. Karena fungsi-fungsi ini mengalami perubahan, sehingga hujan yang jatuh sebagian besar menjadi run-off dan keluar dari daerah tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan, fenomena El Nino di Kawasan Pasifik semakin memperparah kekeringan yang terjadi. Secara garis besar, menyebabkan uap air di kawasan Indonesia berkurang karena bergerak ke arah berlawanan. Hujan yang biasa terjadi di musim kemarau menjadi berkurang.
Menurutnya, El Nino muncul dua hingga lima tahun sekali, tahun 1997 tercatat merupakan musim kekeringan terparah di Indonesia. Akibatnya, produksi beras nasional menurun hingga 30 persen.
Klasifikasi kekeringan, ia melanjutkan, ditinjau dari curah hujan di bawah normal. Klasifikasi lainnya ditinjau dari kekeringan pertanian. Kekeringan pertanian ini akan didahului oleh kekeringan meteorologis. Kategorinya dipersempit lagi ke dalam tiga kategori yakni kering, sangat kering, dan amat sangat kering, ditinjau dari tingkat kekeringan daun.
“Sedangkan kekeringan hidrologis dikategorikan berdasarkan kurangnya pasokan air. Baik air permukaan maupun air bawah permukaan. Tidak hanya ditinjau dari air di sektor pertanian, namun penggunaan air untuk keperluan domestik dan industri,” jelasnya.
Ia menambahkan, ada lagi istilah kekeringan sosial ekonomi. Biasanya terjadi setelah terjadinya kekurangan air untuk sektor pertanian dan sektor lainnya sehingga berdampak kepada kehidupan dan aspek sosial dan ekonomi.
“Mitigasinya dilakukan dengan pengelolaan air hujan yang jatuh sehingga dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau,” ujarnya.
Menurutnya, pengelolaan ini terbagi menjadi dua, secara teknis dan non teknis. Secara teknis, dapat dilakukan dengan vegetasi yang mampu menambah daya intersepsi, detensi, dan filtrasi. Bangunan yang diperuntukkan untuk retensi air hujan juga dapat diterapkan atau diistilahkan dengan rain water harvesting. Bangunan ini dapat berupa embung, kolam kecil, parit, atau waduk.
Selain itu, katanya, dapat juga dengan memanfaatkan lubang biopori, sumur resapan, dan sumur injeksi. Maupun penerapan hujan buatan atau monitoring penggunaan air.
“Sedangkan dari sisi non teknis berkaitan dengan regulasi dan budidaya masyarakat sehingga dapat melakukan konservasi air dari sisi penyimpanan dan penggunaannya. Banyak hal yang dapat dilakukan di tingkat individu hingga komunitas,” kata Prof Asep. [] Hari