Dosen IPB: Pangan Berdaulat Ekonomi Terdongkrak
BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Kontribusi pangan dalam mendongkrak perekonomian Indonesia sangat besar. Pertanyaannya, apakah pengembangan ekonomi pangan di Indonesia sudah baik dalam pelaksanaannya?
Dalam perspektif ini, penting intervensi pemerintah terkait dengan infrastruktur serta subsidi bagi para petani dan nelayan juga untuk meningkatkan produktivitasnya. Intervensi itu tidak hanya dari aspek teknologi, tetapi juga dukungan kelembagaan seperti pendampingan.
Dr Dedi Budiman Hakim, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (IE-FEM) dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Rabu (4/11/2020), mengatakan, bahwa akses terhadap pangan adalah salah satu hak asasi manusia sehingga harus terjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkau, tentu dengan kualitas yang diharapkan. Akses terhadap pangan menjadi barometer tingkat kesejahteraan masyarakat karena merupakan kebutuhan dasar yang harus lebih awal terpenuhi.
Lebih lanjut Kepala Intercafe, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University ini mengatakan, untuk mengukur ketersediaan dan akses pangan, sudah dikembangkan indeks ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Indeks ini berfungsi untuk mengukur derajat ketersediaan pangan sehingga dapat diketahui peningkatan akses masyarakat terhadap pangan.
Akses pangan memiliki dimensi yang tidak hanya tersedia, juga terkait kualitas/gizi, aman, sesuai dengan sistem nilai/norma/keyakinan/agama dan tentunya berkesinambungan.
Bila dilihat dari konteks makro ekonomi, ia mengurai bahwa produksi pangan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga sektor ini menjadi salah satu penggerak perekonomian, penyedia lapangan kerja dan berperan dalam stabilisasi harga. “Pangan juga sumber pasokan di industri yang menambah nilai ekonomi atas produk-produk yang diolahnya. Bahkan pada sektor pangan tertentu, perannya sangat penting sebagai sumber devisa negara karena adanya permintaan di pasar internasional, ” jelasnya.
Bagi pelaku seperti petani/peternak/pekebun/nelayan produksi pangan berperan dalam struktur penerimaan rumah tangganya. Dengan demikian menurutnya peran pangan juga krusial dalam menciptakan daya beli, sehingga perlu diperhatikan karena berkolerasi dengan tingkat kemiskinan terutama di wilayah pedesaan. “Krusial dalam arti bisa mengurangi pengangguran di pedesaan,” tuturnya.
Ia juga menyoroti bahwa pengembangan industri pangan, on-farm maupun off-farm di pedesaan dapat menyerap banyak tenaga kerja sehingga selain tingkat pengangguran berkurang, urbanisasi menurun, daya beli meningkat, angka kemiskinan menurun dan yang paling penting adalah meningkatkan pembangunan di wilayah pedesaan.
“Untuk mencapai kedaulatan pangan sambil mendongkrak perekonomian Indonesia, perlu adanya peningkatan di tiap sektor pangan karena saling melengkapi. Yang harus diperhatikan adalah pemilihan komoditi yang berpotensi untuk diekspor serta memiliki harga yang stabil sehingga produktivitas meningkat. Peningkatan nilai tambah pada komoditi yang diekspor harus tetap dikembangkan. Artinya yang diekspor harus komoditi yang sudah diolah untuk mengurangi dampak negatif dari harga di pasar dunia yang sangat volatil dan juga elastisitas harga yang rendah. Oleh karena itu, kebijakan hilirisasi diperlukan agar terjadi peningkatan nilai tambah dari pangan itu,” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pada beberapa komoditi seperti daging, perlu perhatian lebih karena akses terhadap daging yang minim dan harganya yang tinggi akibat produksi yang rendah. Padahal beberapa wilayah di Indonesia sangat cocok dijadikan lahan peternakan, misalnya Nusa Tenggara Timur. “Di sini menjadi suatu keharusan untuk mengembangkan model pengembangan peternakan. Dimana kalau di tanaman ada food estate, nah mungkin ada estate untuk peternakan,” jelasnya.
Menurutnya intervensi pemerintah terkait dengan infrastruktur serta subsidi bagi para petani dan nelayan juga penting untuk meningkatkan produktivitasnya. Tak hanya dari aspek teknologi, dukungan kelembagaan seperti pendampingan sehingga economies of scale tercapai. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan internasional dari WTO (World Trade Center), momen tersebut dapat dimanfaatkan sebagai akses terhadap konsumen internasional.
“Saya pribadi punya prinsip, yaitu harus mulai offensive, ekspor kita kembangkan. Karena apa? Karena kalau ekspor meningkat otomatis ada perubahan cara berpikir dari petani nanti. Harapannya Indonesia dapat menjadi negara eksportir dalam konteks produk olahan yang harganya lebih stabil. Dukungan terhadap inovasi olahan pangan lokal diperlukan agar muncul komoditi yang bernilai ekspor dan nilai tambah bagi petani yang paham akan kualitas, keamanan, tren pasar dan pemasarannya, ” ungkapnya.
Menurutnya, di era pandemi yang memaksa sebagian besar orang beralih ke digital transform tanpa transaksi tatap muka juga menjadi peluang besar untuk meningkatkan penjualan. “Tantangannya adalah rendahnya literasi digital petani serta keterbatasan pengetahuan akan informasi atau data real time mengenai kebutuhan konsumen. Sehingga diperlukan pendampingan maupun kolaborasi, baik bersama perusahaan yang menerima pasokan dari petani maupun melalui pembentukan koperasi atau kelompok tani, ” jelasnya. [] Admin