Debat Capres Ketiga Lebih Berkualitas, Publik Harus Mulai Tidak Percaya Survei
Oleh: Syarifudin Yunus,
Dosen Unindra dan Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka
BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Setelah menyimak penuh Debat Capres ke-3 kemarin (7/1/2024), mungkin banyak yang sepakat bahwa debat capres kali ini lebih berkualitas, berbobot. Sekalipun “dibumbui” perdebatan sengit antar capres soal pertahanan. Bolehlah disebut, debat ketiga ini lebih baik dari dua debat sebelumnya. Selain tema debat yang penting soal Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, Geopolitik, dan Politik Luar Negeri, sepertinya debat capres edisi ketiga makin mengerucut pada realitas dan kualitas calon pemimpin Indonesia 5 tahun mendatang.
Mungkin tanpa basa-basi, setelah debat capres ketiga, publik harus mulai tidak percaya pada survei capres yang beredar selama ini. Sekalipun menggunakan metodologi ilmiah, namun survei bisa jadi malah membingungkan. Selain versinya banyak, respondennya pun terlalu majemuk. Jadi bagi pemilih awam, malah bikin bingung. Justru untuk memastikan capres pilihan yang layak, tontonlah debat capres-cawapres yang tersisa dua lagi.
Debat capres ke-3 kali ini, bisa jadi menimbulkan beragam sentimen dan opini publik.
Tapi secara keseluruhan, debat capres ini sudah bisa jadi bukti tentang kualitas capres Indonesia ke depan.
Setidaknya ada 3 (tiga) indikator yang mengemuka dari debat capres ketiga, yaitu 1) penguasaan materi terhadap tema debat, 2) kemampuan komunikasi debat yang harus mumpuni, dan 3) penampilan dan gaya bicara selama debat berlangsung, termasuk soal emosi dan kepribadian di dalamnya. Capres yang saling bertanya-jawab, hingga mendeliver argumentasi atau gagasan atas visi-misi bidang perhananan keamanan dan hubungan internasional.
Saya kira, publik semakin paham. Siapa capres pilihannya nanti? Atas dasar melihat faktanya, menyimak argumentasinya, dan memilih berdasarkan kualitasnya untuk bangsa Indonesia.
Mengapa debat ke-3 capres kali ini berkualitas?
Setidaknya ada 5 (lima) alasan penting yang mendasarinya. Tentu, tanpa preferensi politik kepada capres manapun.
Satu, debat capres kali ini sangat pantas menjadi edukasi publik tentang kualitas pemimpin ke depan.
Dua, pentingnya data dan fakta yang paling akurat dalam debat sebagai sarana untuk mengambil keputusan ke depan.
Tiga, soal etika capres yang secara “telanjang” bisa disimak baik-baik.
Empat, emosi personal selama berlangsungnya debat.
Dan kelima, gaya komunikasi dan kelugasan berbahasa antar capres dapat dilihat langsung, siapa yang mumpuni dan tidak?
Apa pesan pentingnya? Secara subjketif, saya menilai sudah saatnya publik memberikan penilaian yang layak, objektif, dan tanpa keterpengaruhan dari berbagai pihak. Apalagi lembaga survei, yang mungkin malah membingungkan (bila tidak mau “dicurigai” punya afiliasi dengan capres-cawapres tertentu). Karena biar bagaimana pun, masyarakat sebagai pemilih harus punya independensi pilihan capres yang ditentukan di bilik suara nanti.
Maka hingga 14 Februari 2024, sata pemilu dilakukan, publik masih punya dua kali kesempatan lagi untuk menentukan pilihannya.
Melalui debat capres-cawapres yang tersisa, hingga nantinya mengerucut kepada capres-cawapres pilihannya. Siapa yang lebih layak memimpin bangsa Indonesia 5 tahun ke depan? Harapannya, semoga publik makin ter -edukasi dan kian mantap menentukan pilihannya. Tidak hanya terpengaruh lembaga survei atau opini orang lain. Kiranya publik harus mulai tidak percaya terhadap hasil survei. Sebab, survei memang tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengambil keputusan dalam Pemilu 2024. Apalagi hasil survei yang dirilis sering berbeda di luar batas margin of error.
Mungkin kita sepakat, memilih pemimpin jangan seperti membeli “kucing dalam karang”. Harus hati-hati dan objektif dalam memilih, siapapun pilihannya. Selamat memilih Indonesia!