BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Pengalihan dana desa ke bantuan langsung tunai atau BLT-Dana Desa merupakan jawaban atas masifnya warga atau penduduk desa yang semakin terpapar kemiskinan akibat pandemi covid-19.
“Kondisi ini real dan nyata,” kata Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB University Dr Sofyan Sjaf kepada BOGOR-KITA.com, Minggu (26/4/2020).
Pengalihan sebagian dana desa menjadi BLT Dana Desa merupakan arahan dari pemerintah pusat menyusul pandemi covid-19.
Pemerintah Kabupaten Bogor merealisasi pengalihan itu dengan mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bogor Nomor: 978 / 356 /DPMD/2020 tentang Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 yang ditandatangani Bupati Bogor Ade Yasin tanggal 22 April 2020.
Dalam surat edaran, disebutkan satu kepala keluarga memperoleh sebesar Rp600 ribu, diberikan selama tiga bulan.
Mekanisme penyaluran BLT-Dana Desa dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan metode non tunai, atau dipindahkan dari rekening kas desa oleh Kaur Keuangan kepada rekening masing-masing penerima.
Sofyan Sjaf mengatakan, penggunaan dana desa untuk BLT adalah realita bahwa pembiayaan jaringan pengaman sosial yang umumnya bersumber dari PKH (APBN), APBD Provinsi dan APBD Kabupaten, tidak mencukupi untuk membiayai dampak ekonomi wabah covid-19, karena bertambahnya orang miskin baru. Artinya, angka kemiskinan di pedesaan bertambah.
Sofyan Sjaf mengatakan ada tiga 3 hal yang seharusnya dipertimbangkan pemerintah sebagai dasar pemikiran pengalihan dana desa.
Pertama, realitas pekerja harian lepas yang sudah melakukan migrasi ke desa asal. Pekerja harian lepas ini adalah mereka yang potensial karena usia produktif, sehingga potensi ini perlu dirawat.
Kedua, ke depan Indonesia akan menghadapi krisis pangan sehingga dibutuhkan langkah-langkah taktis dan strategis yang harus dimulai dari sekarang dengan mengoptimakan usia produktif yang migrasi ke desa asal mereka untuk memproduksi pangan.
Ketiga, potensi desa-desa pertanian dan perikanan perlu dikelola dengan baik untuk mengatasi poin sebelumnya.
Berdasarkan hal itu, Sofyan Sjaf mengatakan, sangat disayangkan kebijakan dana desa dialihkan menjadi BLT. “Seyogyanya BLT dana desa diorientasikan untuk kebutuhan memproduksi pangan. Selain lebih produktif, ini untuk mengantisipasi krisis pangan yang tidak hanya melanda Indonesia tetapi dunia. Mengingat ketersediaan pangan yang kurang akan berdampak terhadap munculnya persoalan baru, terutama persoalan-persoalan sosial. Apalagi stimulus ekonomi untuk pertanian belum jelas,” katanya.
Selain itu, Sofyan Sjaf menambahkan, dalam kondisi normal yang tidak adanya bencana, kebijakan BLT mengalami banyak masalah. Apalagi dalam kondisi yang abnormal seperti saat ini.
“Namun demikian, karena kebijakan BLT dana desa ini sudah di-release pemerintah, maka perlu diperketat target sasaran penerima BLT dana desa, agar tidak double menerima bantuan (dari PKH, jaringan pengaman sosial provinsi dan kabupaten). Untuk itu, data presisi dan transparan sangat dibutuhkan,” katanya.
Soal pendataan, Sofyan Sjaf mengatakan, sebaiknya berbasis kepala keluarga (bukan rumah tangga dikarenakan dalam satu rumah biasanya terdapat beberapa kepala rumah tangga), dan agar dapat direcheck posisi penerima bantuan.
Dalam melakukan pendataan harus melibatkan banyak pihak di level desa seperti relawan, pendamping, karang taruna, babinsa, dan lain-lain agar data bisa di-crosscheck dan memiliki ketepatan.
“Demikian halnya ketika penyaluran bantuan. Keterlibatan banyak pihak dimaksudkan agar terwujudnya trust (kepercayaan) bersama,” katanya.
Soal pemberian BLT Dana Desa melalui rekening, menurut Sofyan Sjaf, tidak menjadi prasyarat dicairkannya BLT tersebut mengingat tidak semua warga memiliki rekening bank dan mampu mengakses bank.
“Wabah covid-19 telah menampilkan buruknya wajah sistem pendataan kita di tingkat desa. Ini terjadi karena selama ini desa selala dijadikan sebagai objek data. Sudah saatnya, desa butuh data presisi di mana warga desa dijadikan sebagai subyek data,” tutup Sofyan Sjaf. [] Hari