Oleh: Rahadi Teguh Wiratama
(Alumni Fisip Unas, Peneliti)
BOGOR-KITA.com JAKARTA – Sektor ekonomi dan kesehatan tampak seperti sebuah dikotomi yang tak kenal damai. Kedua sektor itu dianggap merupakan dua kutub dari medan magnet yang sama dengan posisi yang saling berlawanan. Ini merupakan tema yang cukup ramai dibicarakan dalam berbagai diskusi publik pasca merebaknya pandemi virus Covid 19 di Tanah Air dalam beberapa bulan terakhir ini.
Dalam diskursus ini pemerintah dianggap lebih mengedepankan sektor ekonomi melalui serangkaian kebijakan “new normal life”, dan oleh karenanya abai terhadap sektor kesehatan. Para pengkritik kebijakan “new normal life” berpijak pada pandangan bahwa pandemi Covid 19 masih menunjukkan peningkatan jumlah yang terpapar.
Atas dasar itu, pemulihan ekonomi dalam konteks “new normal life”dianggap justru akan memperparah efek pandemi, sekalipun pemerintah berargumen bahwa kebijakan ekonomi yang ditempuh saat ini tetap menggunakan standar protokol kesehatan secara ketat.
Pertanyaannya adalah, apakah opsi kebijakan ekonomi dan kesehatan itu merupakan dilema yang tak berujung, sama seperti buah simalakama?
Sepintas lalu logika di balik opsi kebijakan ekonomi dan kesehatan tampak seperti pilihan dilematis dan bertolak belakang. Namun jika ditelusuri lebih dalam, pilihan tersebut tidak seperti bayangan tentang buah simalakama; buah yang dianggap sebagai obat sekaligus sebagai racun.
Pada dasarnya, para ahli kebijakan publik telah lama menganggap bahwa sektor kesehatan itu juga merupakan bagian dari kebijakan ekonomi. Oleh karenanya, pilihan terhadap sektor kesehatan tidak sama artinya dengan “lumpuhnya” sektor ekonomi.
Bahkan, di beberapa negara Eropa sektor kesehatan merupakan salah satu pilar ekonomi. Penting untuk dicatat bahwa dari 20 negara yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) tertinggi di dunia, sebagaimana yang dirilis UNDP tahun 2019, merupakan negara-negara yang memiliki tingkat kemajuan ekonomi yang tinggi.
Dari 20 negara tersebut 17 di antaranya berda di benua Eropa. Sementara itu 3 negara lainnya merupakan negeri Asia, masing-masing adalah Hongkong, Singapura dan Jepang.
HDI yang antara lain diukur dari variabel kesehatan tersebut menunjukan bahwa kemajuan pembangunan sumber daya manusia bukan fenomena yang terpisah dari variabel kemajuan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, pertumbuhan atau kemajuan ekonomi jangka panjang suatu negara ternyata tidak hanya didukung oleh kenaikan stok modal fisik/material, tetapi juga peningkatan mutu modal manusia yang memiliki pengaruh kuat terhadap peningkatan kualitas SDM.
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kenaikan IPM sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat selama empat dekade terkahir berbanding positif terhadap kemajuan ekonomi suatu negara. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di sejumlah negara maju sektor kesehatan, termasuk pendidikan, memperoleh prioritas penting dalam kebijakan publik.
Yang menjadi faktor kunci adalah: warganegara yang sehat pada gilirannya menjadi dasar bagi pencapaian produktivitas SDM. Ini berarti bahwa upaya untuk mengejar kemajuan ekonomi tidak mungkin dilakukan tanpa memprioritaskan kualitas SDM.
Dengan demikian, sudah selayaknya jika di era desentralisi dewasa ini para kepala daerah patut mempertimbangkan secara serius kebijakan sosial sebagai soko guru bagi kemajuan ekonomi daerah. []