Nasional

Catatan Akhir Tahun 2024 IPW: Polisi Bunuh Diri Meningkat Tiga Kali Lipat

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) mencatat anggota polisi yang melakukan bunuh diri di tahun 2024, meningkat tajam hingga dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

“Hal ini merupakan masalah serius yang harus dihadapi institusi Polri pada tahun 2025 mendatang, selain perilaku berlebihan penggunaan senjata oleh anggota Polri untuk menghabisi nyawa orang,” ujar Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso.

Sugeng mengurai, kalau di tahun 2023, ada sebanyak tiga orang anggota Polri yang menghilangkan nyawanya sendiri, maka pada 2024 ini ada sembilan anggota yang melakukan bunuh diri.

Dari mereka itu, ada yang menembakkan pistol ke kepalanya sendiri dan ada juga yang gantung diri.

“Fenomena ini perlu didalami secara serius oleh lembaga Polri dan Indonesia Police Watch (IPW) berharap institusi Polri memperhatikan kesehatan mental para anggotanya. Bahkan, yang paling sangat penting adalah untuk mencegah kejadian serupa,” ungkap Sugeng Teguh Santoso.

Oleh karenanya, Polri perlu memperkuat program pembinaan mental, pengawasan terhadap tekanan kerja, dan mengurangi stigma terkait kesehatan mental.

Hal ini untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung bagi anggotanya. Sebab, profesi Polri memiliki risiko yang sangat tinggi dan sering menghadapi tekanan besar yang memicu stres, kelelahan, hingga gangguan psikologis.

Pengawasan terhadap tekanan kerja anggota Polri sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa beban tugas yang dihadapi anggota Polri tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental, dan kinerjanya.

“Sehingga peran pimpinan di setiap lini satuan kerja di Polri dari tingkat Mabes sampai tingkat kewilayahan di Polsek sangat penting,” ujar STS, sapaan karibnya.

Ia menjelaskan, hal itu telah diatur dalam Perkap 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat (waskat) di Lingkungan Polri. Peraturan yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 16 Maret 2022, pada pasal 2 diatur adanya kewajiban atasan melakukan waskat pada bawahan.

Baca juga  IPW Puji Kesabaran Polri dan TNI Kendalikan Aksi Damai 4 November

Lantaran itu, IPW menilai setiap pimpinan atau atasan harus dapat menjadi teladan bagi bawahannya, membangun komunikasi terbuka, dapat mengatasi konflik internal dan juga memberikan penghargaan/apresiasi terhadap bawahannya.

“Dengan begitu, maka anggota Polri yang menjadi bawahan merasa terayomi. Sehingga beban berat yang secara psikis membebaninya mendapat solusi dari atasannya,” imbuhnya.

Beban berat secara psikis itu, lanjut STS, emosi yang berlebihan menjadikan anggota Polri berpikiran pendek, melakukan bunuh diri dengan cara menembakkan pistolnya. Pada bulan April 2024 lalu, dua anggota polisi telah melakukan bunuh diri dengan menembakkan pistolnya ke kepala atau badannya.

Pertama, dilakukan oleh Kompol T, pada Kamis, 4 April 2024. Perwira Ditresnarkoba Polda Jateng itu mengakhiri hidupnya di dalam mobil warna putih di sebuah rumah dinas Komplek Akpol Blok K Jalan Sanusi, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kepolisian menyatakan bahwa T bunuh diri karena diduga ada masalah keluarga.

Kedua, dilakukan Brigadir RAT, anggota Satlantas Polres Kota Manado itu tewas dengan luka tembak di dalam mobil Toyota Alphard di Kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (25 April 2024).

Ketiga, Ipda BS, Kanit Samapta Polsek Girimulyo, Polres Kulon Progo tewas bunuh diri dengan menembakkan senjatanya ke arah kepala, di rumahnya di Padukuhan Gendu, Kelurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo pada Selasa (3 September 2024).

Dibuat Membunuh Orang Lain

Sementara penggunaan senjata oleh anggota polri itu, dipergunakan untuk membunuh orang lain. Ada empat kasus yang menghebohkan penggunaan senjata oleh anggota yang menewaskan orang lain sehingga menimbulkan citra buruk terhadap institusi kepolisian. Semua peristiwa itu terjadi di bulan September dan November 2024.

Baca juga  Kenali BSU, Subsidi untuk Pendidik dan Tenaga Kependidikan Non-PNS

Peristiwa itu, pada akhirnya memicu situasi memanas pro kontra di masyarakat. Pihak yang kontra menyatakan bahwa anggota Polri tidak perlu dipersenjatai, sementara yang pro menyatakan senjata masih diperlukan oleh anggota Polri untuk mengamankan, melindungi dan mengayomi masyarakat dari tindakan kejahatan yang membahayakan nyawa.

Penembakan kepada warga terjadi di Propinsi Bangka Belitung. Beni (48) warga Kabupaten Bangka Barat tewas setelah diberondong 12 tembakan anggota Brimob Polda Babel pada Ahad, 24 September 2024 sekitar pukul 16.00 WIB. Korban dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan yang dijaga oleh pasukan khusus Polri itu.

Kemudian, kejadian kedua yang sangat mengejutkan dilakukan oleh Kepala Bagian Operasional Polres Solok Selatan, AKP DI, terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP RUA, pada Jumat, 22 November 2024.

“Bahkan AKP DI, sempat menembaki rumah Kapolresnya. Sedangkan motif penembakan karena korban mengusut tambang galian C ilegal dan menangkap rekannya,” jelas STS.

Kejadian ketiga, menimpa seorang siswa SMKN 4 Semarang Gamma Rizkynata Oktafandy yang meninggal karena timah panas yang diletuskan dari senjata Aipda RZ, anggota Resnarkoba Polres Semarang pada Ahad, 24 November 2024. Gamma dituduh hendak melakukan aksi tawuran.

Ke-empat terjadi di wilayah Polda Kalimantan Tengah, saat Brigadir AKS, anggota Pori yang bertugas di Polresta Palangka Raya menembak Budiman Arisandi, seorang sopir ekspedisi asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (27 November 2024).

“Mayat korban Budiman dibuang di daerah perkebunan sawit di wilayah Katingan Hilir dan ditemukan pada 6 Desember 2024,” ungkap pendiri LBH Keadilan Bogor Raya ini.

Dari peristiwa tersebut, sambung STS, kemudian profesionalisme Polri digugat oleh masyarakat. Padahal sikap pemakaian senjata oleh anggota Polri itu telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) dan standar operasional prosedur (SOP).

Baca juga  Perlu Partisipasi Masyarakat Menangkal Radikalisme di Kalangan ASN

Menyikapi berbagai kasus tersebut, Indonesia Police Watch (IPW) menilai setiap anggota Polri yang memiliki ijin senjata api dinas, maka :

pertama, harus memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam menggunakan senjata api, termasuk pemahaman tentang aturan penggunaan senjata sesuai hukum dan prosedur. Di samping dilakukannya tes psikologis.

Kedua, pengguna harus patuh terhadap Aturan dan Etika penggunaan senjata sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, seperti Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan dilakukan dengan memperhatikan HAM (Hak Asasi Manusia).

Ketiga, pengguna senjata harus menjaga keamanan dan keselamatan senjata yang dipegang, serta bertanggung jawab atas setiap tindakan penggunaan senjata.

Ke-empat, pengguna senjata harus mampu mengendalikan emosi, bertindak tenang, dan menggunakan senjata hanya ketika diperlukan secara proporsional dan dalam keadaan darurat.

Kelima, anggota Polri harus berhati-hati agar senjata tidak disalahgunakan atau jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab.

Ke-enam, penggunaan senjata harus mempertimbangkan prinsip legalitas (berdasarkan hukum), nesesitas (adanya kebutuhan mendesak), dan proporsionalitas (sesuai dengan ancaman yang dihadapi).

Ke-tujuh, penggunaan senjata itu, harus digunakan dalam kondisi yang mengancam keselamatan nyawa seseorang, bukan untuk menunjukkan kekuasaan atau intimidasi.

Dengan sikap tersebut, anggota Polri diharapkan menggunakan senjata api secara bijak, bertanggung jawab, dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tidak kalah pentingnya, setiap atasan harus mengawasi dan mengevaluasi penggunaan senjata oleh bawahannya.

“Dengan begitu maka profesionalisme Polri dapat terwujud dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri meningkat,” tukas Sugeng Teguh Santoso. [] Fahry

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top