Bekerjasama dengan UIII, Masjid Raya Sheikh Zayed Solo Gelar Seminar dan Pelatihan Moderasi Islam
BOGOR-KITA.com, SOLO – Masjid Raya Sheikh Zayed Solo menjadi saksi pertemuan bersejarah berbagai ormas Islam dalam seminar dan lokakarya bertajuk “Moderasi Islam: Membina Kerukunan dan Pemahaman Antar-Sektarian di Dunia Muslim.”
Acara yang berlangsung pada Selasa ini merupakan kolaborasi antara Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo.
Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Solo, perwakilan Syiah Ahlulbait Indonesia serta para akademisi dan mahasiswa dari Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PW IPM) Jawa Tengah, Jam’iyyah Qurra’ Wal Huffadz al-Wustha UIN Raden Mas Said (RMS), Lembaga Dakwah Kampus UIN RMS, Universitas Negeri Sebelas Maret dan Universitas Muhammadiyah Solo.
Seminar ini bertujuan memperkuat kerukunan dan pemahaman antar kelompok Islam di Indonesia.
Masjid Sebagai Pusat Peradaban
Mughzi Abdillah, Dosen Fakultas Studi Islam UIII, menjelaskan bahwa masjid seharusnya tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat peradaban dan kehidupan sosial masyarakat.
“Kami berharap masjid dapat menjadi mercusuar moderasi Islam. Kita sering bicara toleransi antar umat beragama, namun lupa membina relasi antar umat Islam sendiri. Moderasi Islam bukan hanya proyek jangka pendek, namun harus menjadi misi yang berkelanjutan. Kami membuka untuk diskusi. Menjadikannya sebagai bagaian dari kurikulum pendidikan akan menempa visi moderasi beragama menjadi semakin matang. Memupuk (kerukunan umat beragama) itu tak selesai sehari, namun harus berkelanjutan” ujarnya.
Menurut Mughzi, masyarakat beragama di Solo cukup dewasa dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
“Di beberapa daerah, heterogenitas masih dianggap ancaman dan seakan memperjuangkan homogenitas. Padahal, kehidupan yang beragam akan semakin memperkaya dan memperindah,” tambahnya.
Peran Masjid Raya Sheikh Zayed dalam Moderasi Beragama
Munajat, Direktur Operasional Masjid Sheikh Zayed Solo, mengungkapkan bahwa masjid ini didirikan dengan dukungan penuh dari Uni Emirat Arab (UEA), baik dalam hal pembangunan maupun operasional.
“Masjid ini didirikan dengan visi mempromosikan budaya Islam yang toleran dan meningkatkan komunikasi lintas budaya,” jelasnya.
Untuk menjaga netralitas dan merangkul semua kalangan, Masjid Raya Sheikh Zayed tidak memperbolehkan ormas tertentu mengadakan acara di dalamnya.
Namun, lembaga pendidikan yang bersifat netral diizinkan untuk mengadakan kegiatan. “Kami ingin masjid ini menjadi tempat yang inklusif bagi semua,” tegas Munajat.
Arsitektur masjid ini juga mencerminkan semangat moderasi, dengan memadukan gaya UEA dan Indonesia, seperti penggunaan motif batik kawung pada lantai masjid. Selain itu, masjid ini juga membuka diri untuk kegiatan non-ibadah, termasuk kunjungan wisatawan yang ingin berfoto.
“Selfie [swafoto] di sini enggak apa-apa, kami juga gunakan kembang api untuk merayakan hari besar tertentu. Selfie belakangnya ada orang salat (lebih baik), dari pada selfie dengan minum-minuman keras di tempat lain, kan ngeri,” ujarnya sambil tersenyum.
Antusiasme Peserta dan Harapan ke Depan
Muhaimin Khoirul Amin, mubaligh dari Jemaat Ahmadiyah yang turut hadir, mengapresiasi inisiatif ini.
“Kegiatan seperti ini menjadi ruang perjumpaan yang mempertemukan akademisi, kalangan pesantren, dan pengurus masjid. Semakin banyak ruang perjumpaan, semakin kita saling mengenal,” katanya.
Acara ditutup dengan ramah tamah yang hangat antar peserta. Perwakilan dari Syiah dan Ahmadiyah saling berbagi referensi kitab yang dapat diakses publik, dengan harapan masyarakat dapat mengenal mereka lebih dalam dan terjalin rasa saling menghormati.
Melalui seminar ini, Masjid Raya Sheikh Zayed Solo menegaskan perannya sebagai pusat peradaban baru yang mempromosikan moderasi dan kerukunan di tengah keberagaman.
Diharapkan, inisiatif ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membina harmoni antar umat Islam di Indonesia. [] Nailul Wirdah