BOGOR-KITA.com – Hal ihwal yang perlu kita sadari seksama adalah bahwa negara kesatuan republik indonesia (NKRI) menganut sistem demokrasi.
Sistem yang lahir dari dunia barat ini, mengindikasikan bahwa telah beranjaknya nilai-nilai kemanusiaan dari keterjajahan sistem monarki absolut.
Menurut Thomas Hobbes, “hadirnya sistem demokrasi merupakan instrumen menjembatani kesenjangan antara fitrah manusia dengan kekuasaan, terlepasnya belenggu cengkeraman otoriterianisme, melalui kontrak-kontrak sosial yang melindungi hak-hak warga negara, membatasi kekuasaan negara, dan menjamin terselenggaranya kedaulatan rakyat melalui hak suara”.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi yang ada di indonesia adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Keterlibatan masyarakat dalam mengontrol dinamika kenegaraan adalah sebuah keniscayaan di alam demokrasi ini.
Banyak cara bagi masyarakat sipil dalam melakukan pengontrolan kerja-kerja pemerintahan dewasa ini, dimulai dari keterlibatannya dalam membuat kebijakan & peraturan, dan bahkan termasuk aksi massa / unjuk rasa / demonstrasi.
Membicarakan aksi demonstrasi dewasa ini dalam perpektif hukum, merupakan hal menarik tuk diperbincangkan.
Bagaimana eskalase demonstrasi atau aksi massa ini bisa terjadi? Apa payung hukum nya? Bagaimana protap pengamananya?
Aksi demonstrasi bukanlah perbuatan baru di negera ini. Negara yang telah mengalami jatuh bangunnya sistem pemerintahan, mulai dari Orde Lama (demokrasi terpimpin), Orde Baru (Otoritarianisme) sampai kepada Reformasi (Demokrasi langsung).
Dalam semangat reformasi, keterlibatan masyarakat sipil hal yang patut bagi pemangku kekuasaan untuk melibatkan dalam segala membuat peraturan maupun kebijakan, hal itu bisa dilihat dari UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
*Terjadinya Aksi Demonstrasi Massa*
Aksi Demonstrasi Massa merupakan suatu cara yang diambil oleh para pendemo untuk menyampaikan aspirasi mereka, entah itu aspirasi tentang penolakan, kritik, saran, ketidaksetujuan atau usulan kepada pemimpin / perwakilannya tentang sesuatu hal kebijakan atas hidup orang banyak.
Kebijakan / peraturan dan segenap perbuatan yang muncul dari penguasa / perwakilannya merupakan objek dari basis massa para demonstran, yang telah mengikat keseluruhan rakyat atas legitimasinya suatu kebijakan / peraturan.
Dari situlah para demonstran berangkat untuk mengaktualkan dengan tujuan untuk segera dilakukannya perubahan dan lain sebagainya.
Dan hal ini merupakan sarat kepentingan, tidak terbantahkan!
Aksi demonstrasi massa dalam de jure
Pasal 28 E UUD 1945, menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum”.
Aksi demonstrasi massa pun secara lebih eksplisit & limitatif telah didalam dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sehingga demokrasi telah memberikan fasilitas bagi masyarakat sipil untuk bisa melakukan pengawasan langsunh (control social), dan bahkan tak sedikit dari dampak aksi demonstrasi menjadi barometer arah kebijakan.
Pengamanan Aksi Massa
Perlu diketahui bahwa dalam aksi demonstrasi massa ini, memiliki pengamanan dari pihak terkait, yaitu kepolisian republik indonesia.
Kehadiran kepolisian dalam laju aksi demonstrasi massa ini bisa dilihat dari UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NRI.
Ditegaskan kembali didalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 9 Tahun 1999, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Polri berhak memukul? Menembak? Bahkan intimidasi peliputan?
Terkait pelaksanaan aksi demonstrasi sebagai perwujudan penyampaian pendapat di muka umum. Maka ditetapkan lah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (Pasal 2 Perkapolri 9/2008).
Pasal 13 Perkapolri 9/2008 menjelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstrasi), aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.
Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkistik dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum. Hal ini sesuai Pasal 23 ayat (1) Perkapolri 9/2008 yang menyatakan: a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;
b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;
c. terhadap pelaku yang anarkistik dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkistik dimaksud.
Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).
Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;
b. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c. tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya;
d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;
f. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.
Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas
Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:
1. Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa;
2. Melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur;
3. Membawa peralatan di luar peralatan dalmas;
4. Membawa senjata tajam dan peluru tajam;
5. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan;
6. Mundur membelakangi massa pengunjuk rasa;
7. Mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa;
8. Melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.
Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul apalagi nenembak para demonstran.
Pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Terkait dengan hal tersebut, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan instansi lainnya untuk ditelusuri apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi.
Bahkan bisa dilanjutkan kepada sanksi pidana, yang apabila bukti-bukti atau alat bukti permulaan yang merujuk pada Pasal 184 KUHAP terpenuhi. [] Admin/ Anggi Triana Ismail, SH.