Kab. Bogor

Yayasan Rekam Nusantara dan IPB Inisiasi Digitalisasi Perikanan Berkelanjutan

Digitalisasi Perikanan

BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Tata kelola perikanan nasional masih membutuhkan banyak perbaikan, salah satunya adalah aspek pendataan untuk mendukung desain pengelolaan perikanan yang berbasis ilmiah.

Berangkat dari realitas itu, Yayasan Rekam Nusantara dan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University berinisiatif melakukan terobosan dengan membangun Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI), sebuah unit yang bertujuan untuk mengembangkan inovasi sistem pendataan dan riset perikanan terpadu.

FRCI diharapkan dapat menjadi salah satu wadah untuk menciptakan kolaborasi multi-pihak demi memajukan peluang emas perikanan Indonesia.  Direktur Utama Yayasan Rekam Nusantara, Een Irawan Putra mengatakan latar belakang dari terbentuknya FRCI merupakan bentuk komitmen untuk mendorong pengelolaan perikanan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

“Agaknya, saat ini pengelolaan perikanan di Indonesia sudah semestinya berbasis data ilmiah,” kata Een dalam rilis dari IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Senin (15/2/2021).

Dikatakan persoalan tata kelola perikanan nasional tersebut menjadi tema diskusi daring di Launching Event: Fisheries Resource Center of Indonesia, Kamis (11/2/2021).

Menurut Een, ketiadaan data acapkali menjadi faktor penghambat. Padahal, digitalisasi sistem pendataan sebagai pembenahan tata kelola perikanan adalah kunci agar Indonesia berdaya saing. “Sayang jika tidak dilakukan di tengah tren produksi perikanan Indonesia yang terus meningkat dalam kurun 20 tahun terakhir,” imbuhnya.

Baca juga  Sekwan Yunita Pastikan Kesiapan Pemilu di Citeureup

Demi mewujudkan itu, Rekam Nusantara menggandeng Departemen PSP agar penelitian yang sudah banyak dilakukan di IPB University dapat disebarluaskan dan digunakan untuk mendukung pengelolaan perikanan melalui FRCI.

Dalam acara yang sama, Ketua Departemen PSP IPB University, Dr Sugeng Hari Wisudo menyampaikan bahwa tantangan perikanan masih berkutat menyoal perizinan, hasil tangkapan yang tak terlaporkan dan pengaturan penangkapan yang belum optimal. Selain itu, ancaman degradasi habitat dan ekosistem di kawasan pesisir laut serta penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) masih tinggi.

“Dengan adanya data yang terintegrasi, dapat dilakukan pemantauan kesehatan stok ikan dan penyusunan dokumen harvest strategy. Sehingga peluang pengembangan perikanan menjadi terukur,” ujar Dr Sugeng.

Menurutnya, komitmen bersama ini juga bakal membangun ruang partisipatif dari berbagai kalangan masyarakat, akademisi, aktivis, dan pemerintah.

Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yayasan Rekam Nusantara dan FRCI sejak April 2019 hingga Desember 2020 di Jawa Tengah, teridentifikasi peredaran kapal dari aktivitas perikanan hiu dan pari mencapai 1.384 trip. Total pari yang berhasil didata sebanyak 7.158 individu. Terdiri dari Pari Kikir (Glaucostegidae) dan Pari Kekeh (Rhinidae).

Baca juga  Polisi Tangani Kasus Pria Tewas dengan Luka Bacok di Gunungsindur

Tercatat, dua spesies dari Pari Kikir yang ditangkap dan didaratkan yaitu Glaucostegus thouin dan Glaucostegus typus. Serta empat spesies Pari Kekeh yaitu Rhynchobatus australiae, Rhynchobatus laevis, Rhynchobatus springeri, dan Rhina ancylostoma. Jumlah produksi tangkapan jenis-jenis pari di Jawa Tengah diestimasi mencapai 457 ton per tahun.

FRCI berupaya mendorong pengendalian penangangkapan Pari Kikir dan Pari Kekeh melalui program Inisiatif Kolaborasi Pendataan Perikanan (IKAN). Program IKAN merupakan sebuah wadah multipihak yang mengajak masyarakat, nelayan, akademisi, dan swasta yang ingin terlibat dan berkontribusi dalam pengumpulan data dan informasi perikanan di Indonesia.

“Pari Kikir dan Pari Kekeh masuk ke dalam kategori terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2019, serta berstatus Appendix II menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang perdagangannya harus dibatasi,” ujar Manager Fisheries Resource Center of Indonesia, Dwi Putra Yuwandana, SPi, MSi.

Menurutnya, apabila penangkapan dibiarkan tanpa ada data yang valid, maka Indonesia, sebagai anggota CITES, ada kemungkinan tak akan lagi bisa mengekspor komoditas tersebut. Sementara dalam jangka panjang spesies tersebut terancam mengalami kepunahan jika tidak dikelola dengan baik.
Dwi ingin, lewat inisiatif ini, pihaknya dapat membuktikan secara ilmiah, apakah memang benar sudah berkurang.

Baca juga  Komisi I DPRD Jabar Tinjau BUMDes Cisaat

“Memang bisa dibilang banyak, tetapi harus kami perkuat dengan data ilmiah,” kata Dwi, yang juga Dosen IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Di akhir acara, FRCI meluncurkan buku ‘Kerapu di Indonesia’, yaitu buku panduan identifikasi jenis kerapu yang pertama di Indonesia, dilengkapi informasi perikanan dan daerah pendaratannya di Indonesia.

Pembina FRCI, Dr Irfan Yulianto menegaskan bahwa komitmen FRCI selain mengkaji potensi sumberdaya ikan tetapi juga mendukung upaya pengelolaan lestarinya. Hal ini dibuktikan dengan proses penyusunan buku yang dilakukan selama tiga tahun untuk ini untuk mengoleksi informasi tentang 77 jenis kerapu di Indonesia.

“Buku tersebut disusun oleh para peneliti dan pemerhati perikanan kerapu serta dilukis oleh ilustrator muda Indonesia. Dikemas dengan desain masa kini, saya berharap, buku tersebut dapat dipergunakan oleh berbagai kalangan sekaligus memberikan stimulus bagi masyarakat luas untuk lebih mengenali potensi bahari Indonesia,” imbuhnya. [] Admin

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top