BOGOR-KITA.com, DEPOK – Dari 8 daerah yang menggelar pilkada serentak di Jawa Barat, pilkada Depok menjadi salah satu yang populer dan mendapat perhatian bukan hanya khalayak Depok, tetapi juga di luarnya. Dua bakal calon sudah mendaftar ke KPUD Depok pada pilkada yang digelar 9 Desember 2020 mendatang.
Pasangan Mohammad Idris-Imam Budi Hartono (IBH) diusung oleh PKS, Demokrat, PPP dengan kekuatan 17 kursi di DPRD Kota Depok. Sementara partai pengusung Pradi Supriatna-Afifah Alia meliputi Gerindra, PDIP, Golkar, PSI, PKB, PAN, dengan kekuatan 33 kursi di DPRD Kota Depok.
Siapa bakal keluar sebagai pemenang?
“Relawan Mohammad Idris lebih masif ketimbang seterunya Pradi Supriatna. Koalisi pengusung Pradi Supriatna memang lebih gemuk ketimbang koalisi partai pengusung Idris. Tetapi faktor loyalis menjadi faktor penting kata pengamat politik Yusfitriadi kepada BOGOR-KITA.com, Selasa (8/9/2020).
Yus, sapaan akrab Yusfitriadi mengatakan, koalisi besar dalam pilkada, baik itu pemilihan gubernur dan wakil gubernur ataupun pemilihan bupati dan wakil bupati atau pemilihan walikota dan wakil walikota, tidak semata mata ditentukan oleh kontestasi partai politik dengan kekuatan koalisinya., Sebab ada unsur kekuatan personal figu yang menjadi salah satu faktor penting.
“Variabel kekuatan figur bisa sangat kompleks. Seperti masalah kharismatik, tingkat mengakarnya figur tersebut, pernah bersentuhan dengan hukum atau isu amoral, termasuk kekuatan financialnya. Sehingga faktor partai politik pengusung tidak terlalu kuat dalam menentukan elektabilitas dalam pilkada,” kata Yus.
Dikatakan, dalam Pilkada Kota Depok, kekuatan koalisi partai politik pengusung terlihat tidak seimbang. Pradi dan Afifah diusung oleh partai gemuk, adapun Idris dan IBH diusung oleh kekuatan koalisi partai kurus. Kedua kekuatan koalisi ini sama sama mengusung incumbent.
Menariknya dalam koalisi gemuk, cawalkot dan cawawalkot diusung dari partai yang berbeda sehingga menampilkan kombinasi kekuatan dalam tubuh koalisi sehingga terlihat sinergitas pengusungan dalam koalisi.
Namun koalisi lawan politiknya cawalkot dan cawawalkot merupakan kader dari satu partai, sehingga partai yang lainnya dalam koalisi tersebut hanya sebagai penggembira dan tentu saja akan mengandung konsekwensi, misalnya partai dalam koalisi tidak support full dalam pilkada, karena dalam koalisi tersebut menggambarkan “kemarukan” untuk menduduki kursi pada pemerintahan Kota Depok 5 tahun ke depan.
Ketika kita akan menganalisis kekuatan partai politik, kedua kekuatan koalisi memiliki variabel yang sangat mungkin akan memiliki potensi bias kekuatan. Seperti pada koalisi Gerindra, PDIP, Nasdem, Golkar dan lain-lain, selain Depok bukan menjadi basis kekuatan koalisi tersebut, sisa dinamika pilpres menurut saya akan mempengaruhi kekuatan koalisi, terutama simpatisan yang ketika pilpres memilih Prabowo.
“Ketika Prabowonya kemudian masuk kabinet Jokowi tentu muncul kekecewaan di akar rumput.
Maka kondisi ini akan mempengaruhi tingkat elektabilitas Pradi dan Afifah,” kata Yus.
Begitupun pada koalisi parpol yang mengusung Idris dan IBH. Ada 2 hal yang berpotensi menggerus elektabilitas paslon tersebut yakni, mengusung orang dari kader yang sama dan keberadaan Partai Gelora yang merupakan sempalan dari PKS. Tinggal pertanyaannya sekarang, apakah Kota Depok merupakan basis PKS atau basis Gelora itu yang perlu dianalisis oleh tim pemenangannya.
Namun sekali lagi, bahwa kekuatan koalisi parpol bukan hal yang sangat menentukan, sehingga perlu menganalisis figur dalam konteks pilkada.
Ketika kita mengelaborasi kekuatan masing-masing figur dalam gelaran kontestasi pilkada di Kota Depok, maka tentu saja masing-masing figur mempunyai kelemahan dan kelebihan yang akan mempengaruhi tingkat elektabilitas kedua paslon tersebut.
Kedua figur tersebut merupakan incumbent dan sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam membangun dan kedekatan terhadap Warga Depok ketika kedua figur tersebut menjadi walkot dan wawalkot.
“Pengamatan saya, kedua figur tersebut tidak optimal dan memeratakan pembangunan di Kota Depok, bahkan cenderung pencitraan dan seremonial saja,” kata Yus.
Tetapi, imbuhnya, dari segi figur, tentu Idris satu trip di atas Pradi. Idris sudah menyimpan loyalis loyalisnya pada ASN di seluruh struktur pemerintahan, sudah menebar program sosial pemerintahan karena kewenangan wali kota jelas lebih kuat, juga sudah mengkonsolidir relawan yang sangat masif karena isu pencalonannya dari jalur independen.
“Sedangkan Pradi dengan kewenangan wawalkot yang terbatas, tidak akan leluasa menyimpan loyalisnya pada strutur pemerintahan dari hulu sampai hilir. Begitupun dalam meng-arrange program, tidak semasif Idris sebagai walkot,” tutup Yusfitriadi. [] Hari