Regional

Dramaturgi Politik Kaum Demagog

Oleh: H. Mahpudsin, SH. MM. M.kn.

BOGOR-KITA.com, CIREBON – Dunia ini panggung sandiwara …  Ceritanya mudah berubah …Penggalan cuplikan lagu yang dibawakan aktris rokker Nikki Astria menjadi nyanyian yang “ngehit” pada jamannya di tahun 1990-an ini rasanya tetap relevan di jaman now, khususnya dalam keterkaitannya dengan demokrasi elektrol di republik ini. Di mana setiap aktor politik dan yang mencoba menjadi politisi akan mematut dan mencitrakan dirinya menjadi aktor yang protagonis dan tampil narsis memuji dirinya sendiri, dibalut dan diframing sedemikian rupa bahwa dirinya orang baik yang patut dipilih oleh rakyat menjadi pemimpinnya.

Persoalannya adalah rakyat pada umumnya hanya melihat aktor yang tampil di muka pentas pertunjukan tanpa mau menelaah siapa di balik layar panggung yang menyusun skenario lakon dan sutradara yang mengarahkan peran panggungnya plus siapa penyandang dana dari pagelaran pertunjukan yang dimainkan oleh aktor depan tersebut.

Hipnotisasi alam bawah sadar rakyat oleh promosi hukum yang terstruktur, sistematis dan masif menjadikan rakyat selalu tertipu yang terus berulang di setiap pagelaran demokrasi elektoral negeri ini. Kesejahteraan yang diharap, kesengsaraan yang didapat.

Baca juga  Berebut Air, Petani Subang Kritis Dibacok Rekannya Sendiri 

Sejahtera hanya berlaku bagi para aktor dan kaum demagognya saja yang memainkan perannya masing -masing dalam pentas politik sesuai perannya masing-masing, sedangkan rakyat hanya dijadikan alat untuk meraih kuasa setelah itu menjadi penonton setia yang kembali ke rumah dengan kehidupannya masing-masing tanpa membawa kesejahteraan sebagai efek dari ikut baper membela dan memilih sang aktor demagognya.

Tidak pula merasa berdosa sang aktor kepada penonton yang tidak membawa kesejahteraan karena sang aktor merasa sudah membayari tiket masuk pertunjukan kepada penonton yang datang kepadanya. Maka impaslah sudah beban tanggung jawab sang aktor kepada rakyat yang memilih dan menjadikannya sebagai pejabat dan pemimpin politik. Inilah jaman di mana kita di pimpin oleh para kaum  demagog. 

Pesimis amat sih bro? Karena optimisme dalam politik itu hanya ada dan menjadi peran aktor yang di depan layar, atau khutbah bara khotib dan pemuka agama, atau dosen yang mengajar mahasiswa di depan kelas (bukan dosen yang berperan melatih mahasiswa di alam bebas dan yang membimbing mahasiswa yang berpeluh dan berpelukan dalam ratapan dan tangisan para korban bencana).

Baca juga  Studium Generale: Walikota Bogor Beri Kuliah Umum Kepemimpinan Politik, Antara Ideologi dan Populisme

Optimisme menjadi lagu wajib bagi aktor demagog dan menjadi  bahasa front stage. Bahasa dan kalimat di depan publik harus menarasikan optimisme tidak boleh pesimis apalagi sinisme, karena pesimisme apalagi sinisme tidak mendidik publik. Pesimisme dan sinisme itu hanya berlaku bagi orang yang mengetahui siapa  penulis atau penyusun skenario, produser sebagai pemegang saham dan sutradara yang memegang remote control atas aktor yang sedang berperan di atas pentas politik saat ini. 

Dan para maestro politik di belakang layar yang merencanakan dan memproduksi lakon dramaturgi politik yang akan diperankan oleh para demagog. Termasuk merencanakan sejak dalam pikiran untuk merampok uang rakyat yang dikemas secara legal dalam APBN/APBD. Bancakan proyek dalam kemasan anggaran belanja negara/daerah. Kereeeen kan bro ?

Keseimbangan Politik

Dalam politik yang menganut sistem demokrasi elektoral, peran oposisi adalah sebagai bandul penyeimbang. Ketika oposisi merapat juga menjadi bagian koalisi maka itu artinya demokrasi sedang mengalami gejala yang tidak sehat walaupun dengan narasi indah kebersamaan dan gotong royong.

Baca juga  32 Tim Sepakbola Karawang Meriahkan "Kang Pipik Cup 2019"

Faktanya yang terjadi adalah hegemoni dan oligarki politik yang turunannya akan melanggengkan kapitalisme, liberalisme dan melahirkan rakyat yang hedonis dan konsumtif, lantas bagaimana rakyat akan percaya terhadap kampanye dan narasi optimisme oleh para pemimpin ketika apa yang dirasakan oleh rakyat justru sebaliknya.

Tuhan memang sudah mengajarkan manusia untuk berlaku seimbang. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, seimbang antara “Roja” dan “Khauf”.

Dalam politik pun Tuhan mentakdirkan Firaun tapi juga menghadirkan Musa. Tuhan juga menghadirkan David dihadapan Goliat. Optimisme kepada Tuhan lah yang harusnya kita pupuk dan tumbuhkembangkan dalam setiap perhelatan panggung politik di negeri ini.  Semoga Tuhan Menghadirkan MUSA dihadapan FIRAUN pada gelaran Pilkada Serentak pada 2020 yang akan datang.  Wallohu a’lam bissyowab.

[] Penulis, adalah akademisi dan praktisi hukum, tinggal di Cirebon

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top