IndonesiaBicaraBaik, Perhumas Bersama Dompet Dhuafa Ungkap Ancaman Sosial Media Pada Psikososial Hingga Masa Depan Anak
BOGOR-KITA.com, JAKARTA– Maraknya konten-konten negatif, berita bohong hingga informasi negatif cenderung menjadi pemicu konflik di masyarakat. Isu-isu negatif yang beredar bukan hanya merusak hubungan sosial namun juga kondisi psikologis publik.
Mudahnya masyarakat mengakses lini sosial media hingga menjamah setiap konten, berita hingga ruang publikasi dengan gawai menciptakan ruang komunikasi yang luas dan global.
Salah satunya pada anak-anak, mudah mengakses ruang sosial media dengan gawai hingga tanpa batasan dapat berdampak buruk pada pola pikir hingga psikisnya. Bersama ruang cerita daring, #IndonesiaBicaraBaik, Dompet Dhuafa mendorong eduaksi sebuah edukasi dan aktivasi untuk menggelorakan komunikasi, berbicara hingga memberikan pesan positif untuk dan bagi masyarakat.
Melalui Ruang Cerita daring pada Selasa, (20/11) sore, dihadiri Ketua Bidang Pengembangan Kampanye Kehumasan Perhumas Laurentius Iwan Pranoto, Penanggung Jawab Program Pendidikan Dompet Dhuafa Yogyakarta Yazid Subakti dan Founder Cerdas.id Adhiem Bahri.
“Ruang digital yang mudah dan menjadi terbuka memberikan dampak semakin luas. Ini harus menjadi fokus cara kita berkomunikasi, kita harus menyadari dampak yang diakibatkan. Hanya itungan detik akan berdampak secara global”, ujar Laurentius Iwan Pranoto.
Laurentius Iwan Pranoto menambahkan, “dalam berinteraksi dan berkomunikasi ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni empati, literasi dan teladani. Berkomunikasi dan berinteraksi harus dapat menerima perbedaan, karena dari perbedaan menjadi ruang saling belajar sehingga kita dapat memahami sebelum menanggapinya. Selain itu kita harus menjadi diri kita, menahan diri kita dari segala bentuk ruang komunikasi negative, tidak terpancing dan menimbulkan emosi berlebih, maka perlu saring sebelum sharing”.
Sementara Yazid Subakti juga mengungkapkan, “bahwa peran penting orang tua hingga pendamping anak-anak sangat penting dalam peran mengawasi komunikasi di gawai. Tidak hanya mengawasi, peran orang tua hingga pendamping juga harus teredukasi secara benar dan tepat. Kemanjuan dan perkembangan digital dalam gawai juga harus diiringi pemahaman orang tua dan pedamping dalam pola penggunaan gawai pada anak secara bijak”.
“Saya banyak menemui tindakan hinaan, kekerasan secara kata-kata itu cepat sekali digunakan dalam komunikasi sosial media terutama pada anak-anak. Ini dapat berdampak negative pada pola pemikiran anak-anak”, tambah Yazid.
Bahkan Yazid sempat tercengang ketika menemukan ada anak-anak yang ingin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Yazid, menanyakan kepada anak-anak tersebut, dari mana muncul pikiran untuk bunuh diri? Anak tersebut menjawab dari gawai atau handphone. Lebih lanjut pemicunya adalah tidak ada peran pendamping bahkan orang tua dalam mendampingi emosional anak dalam memanfaat dunia digital baik sosial media maupun game pada gawai atau handphone.
Yazid juga menambahkan hal-hal dari dampak positif dan negatif gadget bagi anak-anak. Di antara dampak positifnya, menambah teman dan menjaga pertemanan, memudahkan komunikasi dengan orang tua, serta membuat anak lebih mahir menggunakan aplikasi untuk membantu belajar. Hal ini terjadi jika anak menguasai gadget. Namun sebaliknya jika anak dikuasai gadget, dapat mengganggu aktivitas harian anak seperti makan, mandi, tidur, dan belajar; merusak fungsi mata; menimbulkan gangguan pada fungsi otak; menyebabkan kecanduan; menghambat interaksi sosial; membuat anak mudah lupa; menyebabkan obesitas; memicu gangguan mental; serta menghambat perkembangan fisik.
Selain itu Adhiem Bahri mengatakan media sosial memiliki dua wajah yang kontradiktif. Disisi lain, dengan kehadiran media sosial dapat mendorong relasi lebih luas, rejeki, informasi yang lebih cepat. Namun disisi negatifnya, kita melihat realitas yang lebih suram yakni Indonesia bicara buruk.
Adhiem juga menambahkan, “Pola sosial media saat ini sangat mempengaruhi pola interaksi di masyarakat, bahkan terjadi perubahan dari mental. Terutama pada kalangan muda-mudi, remaja ini menjadi perhatian khusus, dimana mereka terjebak pada FOMO atau Fear Of Missing Out, rasa cemas, takut akan kehilangan tren atau aktivitas menarik bagi mereka. Selain itu polusi informasi yang disebut HOAKS berdampak signifikan pada hilangnya empati, simpati mempengaruhi rasional hingga memicu dampak emosional berlebih akibat tribalisme digital”.
Maka itu peran kalangan muda, remaja diharapkan dapat bersikap kritis memingkatkan sikap empati hingga berpikir kreatif dalam ruang lingkup sosial media.
