Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan
Disclaimer:
Tulisan ini hanya bertujuan memberikan pendidikan dan bersifat umum.
BOGOR-KITA.com, HUKUM – A merasa bingung dan kecewa karena gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim atas dasar bertentangan dengan kompetensi absolut, sebagaimana tertuang dalam putusan. Awalnya, A bekerja di B. Setelah 5 (lima) tahun, B memberhentikan A. Merasa tidak terima dengan tindakan B, A mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan dasar wanprestasi.
A mungkin bukan satu-satunya orang yang bingung dan kecewa dengan apa yang dialaminya di pengadilan. Sebagai seorang awam hukum, A mungkin belum bisa membedakan lingkup kewenangan peradilan. Gugatan tidak dapat diterima atau dalam terminologi hukum lazim disebut Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) merupakan putusan hakim mengenai tidak terpenuhinya syarat formil dalam mengajukan gugatan. Kompetensi absolut disebut juga wewenang mutlak atau absolute competentie dan merupakan hal yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan. Kompetensi absolut menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan yang menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili atau disebut dengan attributie van rechstmacht.1
Di Indonesia, ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kompetensi absolut dari peradilan umum maupun peradilan khusus dalam mengadili sengketa. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur pembagian kompetensi peradilan, yaitu peradilan umum,2 peradilan agama,3 peradilan militer,4 dan peradilan tata usaha negara5.6 Selain keempat badan peradilan tersebut, ada peradilan khusus yang berada di bawah peradilan umum, yaitu peradilan hubungan industrial,7 peradilan niaga,8 peradilan tindak pidana korupsi,9 dan peradilan hak asasi manusia10.
Dari pembagian kekuasan peradilan di atas, A belum memahami bahwa perkara pemutusan hubungan kerja yang dialami merupakan ruang lingkup dari peradilan hubungan industrial. A menyangka bahwa B telah melakukan wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian kerja dengan memberhentikan dirinya. Padahal, A seharusnya mengajukan gugatan ke peradilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dengan dasar perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena putusan yang diterima A hanya berkaitan dengan syarat formil, A masih bisa mengajukan gugatan, tentu saja dengan memperhatikan kompetensi absolut dari peradilan.
Peristiwa yang dialami A mungkin sudah semakin jarang dengan adanya layanan online (daring) ecourt dari Mahkamah Agung dan layanan Peradilan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di pengadilan. Adanya ecourt dan PTSP memungkinkan pengadilan untuk menyaring gugatan atau permohonan yang masuk dan memberi masukan kepada pembuat gugatan atau pembuat permohonan. Namun demikian, pengadilan tetap memberikan kebebasan bagi pembuat gugatan atau pembuat permohonan untuk melanjutkan gugatan atau permohonan apabila tidak menerima masukan dari pengadilan. Oleh sebab itu, masih ada juga yang mengalami nasib seperti A.
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kutipan:
1 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 11-15.
2 Lingkup kompetensi peradilan umum ialah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana secara umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (2).
3 Lingkup kompetensi peradilan agama ialah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (3).
4 Lingkup kompetensi peradilan militer ialah memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (4).
5 Lingkup kompetensi peradilan tata usaha negara ialah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (5).
6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1).
7 Lingkup kompetensi peradilan hubungan industrial ialah memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 17.
8 Lingkup kompetensi peradilan niaga ialah memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap sengketa perniagaan seperti perkara-perkara kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran utang, Hak atas Kekayaan Intelektual dan perkara niaga lainnya.. Lihat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 7.
9 Lingkup kompetensi peradilan tindak pidana korupsi ialah memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Lihat Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 dan 5.
10 Lingkup kompetensi peradilan hak asasi manusia ialah memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Lihat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 2 dan 4.
Oleh: MARIO ARI LEONARD BARUS (Advokat/0812-6432-9571)