BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pengamat sosial dan politik Bogor Yusfitriadi sorot keterbukaan penanganan covid-19, utamanya transparansi anggaran. “Tranparansi ini penting karena ada refocussing dan relokasi anggaran. Selain itu tranparansi anggaran ini bukan hanya menjadi isu pusat tetapi juga isu di tingkat provinsi dan kabupaten kota,” kata Yusfitriadi dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Yayasan Visi Nusantara Maju, Selasa (12/5/2020).
Selain Yusfitriadi selaku Ketua yayasan Visi Nusantara Maju, tampil Bupati Bogor sekaligus Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Kabupaten Bogor Ade Yasin, Ketua DPRD Kabupaten Bogor Rudi Susmanto, Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria, anggota DPR RI Dedi Mulyadi. Dari peserta terdaftar sejumlah SKPD di lingkungan Kabupaten Bogor, para aktifis dan kelompok muda.
Dari transkrip rekaman diskusi yang diperoleh BOGOR-KITA.com, Yusfitriadi fokus menyoroti akuntabilitas dan transparansi penanganan covid-19.
Dikatakan, transparansi dan akuntabilitas menjadi isu penting dalam penanganan covid-19. Karena, terdapat 5 titik rawan yang berpotensi abainya aspek transparansi dan akuntabilitas.
Pertama, adanya refocussing dan relokasi anggaran. Dalam refocusing seluruh anggaran yang sudah dialokasikan untuk berbagai program pemerintah, dialihkan atau direfocussing dan direalokasi untuk kepentingan penanganan covid-19.
Kondisi ini terjadi sangat cepat sehingga berpotensi terjadi maladministrasi bahkan kebocoran.
Kedua, pengadaan barang dan jasa. Dengan kebutuhan berbagai barang dan jasa sebagai upaya memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19, maka pengadaan barang dan jasa pun terjadi sangat cepat dan sudah pasti tidak akan normal, seperti tanpa melalui lelang.
Kondisi ini berpotensi mengabaikan aspek transparasi dan akuntabilitas. Karena dalam proses pengadaaanya, baik barang atau jasa publik, tidak terinformasikan secara utuh. “Siapa yang mengerjakan barang dan jasa tersebut, berapa anggarannya, apa saja barang dan jasanya. Mungkin baru akan diketahui oleh publik setelah barang dan jasa ada. Itupun bila hasilnya dipublikasi secara terbuka,” kata Yus, sapaan akrab Yusfitriadi.
Ketiga, pengelolaan filantrofi dan sumbangan pihak ketiga. Seperti kita pahami bahwa covid-19 merupakan wabah yang sangat mematikan secara massal, sehingga banyak pihak yang menyalurkan donasinya melalui gugus tugas. Baik itu dari perusahaan, non government organisation (NGO), dari pemerintah pusat, dan dari pemerintah provinsi.
Berbagai bantuan ini berpotensi tidak diproses secara transparan dan akuntabel baik sumbernya, maupun penyalurannya.
Keempat, penyelenggaraan dan distribusi bantuan sosial. Kondisi data based yang tidak akurat tidak hanya terjadi di tingkat kabupaten atau kota, namun juga menjadi permasalahan di tingkat nasional. Sehingga dengan kondisi data yang tidak akurat, penyelenggaraan dan distribusi bantuan sosial, baik dari pemerintahan pusat, propinsi maupun kabupaten/kota rentan bermasalah.
Selain itu transparansi data pun sulit didapatkan, sehingga dihawatirkan bantuan tidak tepat sasaran, bisa juga terjadi ada yang mendapatkan double atau tidak mendapat sama sekali.
Kelima, Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19).
Peraturan tersebut dinilai banyak pihak sebagai bentuk “imunitas absolut” penguasa. Hal itu lebih disebabkan karena terdapat beberapa pasal di mana pemerintah seakan kebal hukum menggunakan anggaran dalam penanganan covid-19.
Di tingkat Kabupaten Bogor, yang sudah jelas secara terbuka dinyatakan oleh Bupati Bogor, bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor menganggarkan 384 miliar untuk percepatan penanganan covid-19, sebagai hasil refocussing dan relokasi anggaran tahun 2020.
Adapun bantuan dari pemerintah propinsi, pemerintah pusat dan bantuan dari pihak ketiga, sampai saat ini tidak dibuka dan dipublikasi secara terbuka ke tengah-tengah masyarakat, termasuk juga penyalurannya, masyarakat juga tidak terinformasikan.
Mungkin data-data tersebut ada pada dinas masing-masing sebagai desk pelaksana tugas dan mitra gugus tugas. Namun tentu saja masyarakat akan kesulitan untuk mengetahui kondisi anggaran jika harus mendatangai sekretariat gugus tugas, apalagi mitra-mitra kerja gugus tugas.
Dengan kondisi ini, masyarakat pada akhirnya hanya menduga-duga bahkan berspekluasi, apakah jumlah uang yang sudah disiapkan oleh APBD sebanyak 384 miliar cukup atau tidak, apakah berbagai bantuan sosial baik dari pemerintah pusat, propinsi maupun dari pihak ketiga sudah terdistribusikan secara utuh atau tidak, tepat sasaran atau tidak.
“Saya memandang berbagai pertanyaan dan spekulasi publik tersebut harus dijawab secara terbuka melalui data yang kuat. Inilah yang saya maksud sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik,” kata Yusfitriadi.
Ditambahkan, selain akuntabilitas dan transparasi anggaran, kinerja gugus tugas percepatan dan penanganan covid-19 di Kabupaten Bogor juga tidak boleh lepas dari prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Karena ketika kinerja gugus tugas dari mulai kabupaten sampai pada tingkatan RW tidak terbuka, masyarakat tidak bisa memahami kondisi yang sesungguhnya. Yang dipahami dan dirasakan masyarakat adalah kebijakan pemerintah yang bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pelaksanaan PSBB itu sendiri tidak berjalan efektif. Contoh yang sangat sederhana adalah aktifitas pasar yang seakan tidak sedang terjadi apa-apa, angkutan umum yang tidak menjalankan protokol covid-19 dan sebagainya.
Pertanyaanya adalah, apakah BUMD yang mengelola pasar tidak bekerja, apakah dinas perhubungan tidak bekerja, padahal kedua lembaga tersebut adalah mitra dari gugus tugas dalam percepatan penanganan covid-19 di Kabupaten Bogor.
Bagaimana kondisi relokasi dana desa dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk covid-19. Apakah gugus tugas di tingkat desa dan RW juga berjalan secara efektif. Pertanyaan tersebut tidak akan muncul apabila ada transparansi.
Instrumen yang mampu mendorong dan memastikan akuntabilitas dan transparansi percepatan penanganan covid-19 di antaranya adalah kelembagaan legislatif.
“Sampai saat ini saya belum melihat bentuk nyata dari peran pengawasan lembaga legislative Kabupaten Bogor dalam mengawasi baik kondisi anggaran maupun kinerja gugus tugas percepatan penanganan covid-19 di Kabupaten bogor. Hal itu bisa dibuktikan bahwa sampai saat ini belum ada progress hasil peran pengawasan secara periodik terkait covid-19 di Kabupaten Bogor,” tutup Yusfiriadi. [] Hari