Pendidikan

Telemedicine pada Masa Pandemi Covid-19: Hambatan dalam Upaya Adaptasi

Ilustrasi Telemedicine/Istimewa

Oleh: Rifa Fauziyyah

 (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pandemi COVID-19 telah mengubah semua aspek kehidupan, termasuk pelayanan kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang berkurang, disertai batasan-batasan akibat dari implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai upaya physical distancing, menyebabkan berbagai pelayanan kesehatan harus ditunda, dihentikan atau dimodifikasi hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.

Namun, bagi banyak orang, penundaan pengobatan berarti memperparah penyakit dan berpotensi menurunkan kualitas hidup dalam jangka panjang. Salah satu upaya adaptasi yang dilakukan untuk mengatasi hal ini yaitu dengan pemanfaatan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam pelayanan kesehatan jarak jauh, disebut telemedicine, sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Beberapa tahun belakangan, mulai bermunculan beragam aplikasi dan laman yang menyediakan jasa konsultasi medis secara online.

Penggunaan telemedicine, terutama di masa pandemi ini bertujuan untuk melindungi baik tenaga medis, maupun pasien dari risiko penularan COVID-19, serta mencegah penyebaran virus di fasilitas pelayanan kesehatan. Meskipun langkah ini sudah cukup baik sebagai upaya adaptasi terhadap keadaan baru, bukan berarti telemedicine terbebas dari hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.

  1. Aspek Legal

Telemedicine masih memiliki area abu-abu dalam aspek legal. Indonesia terutama belum memiliki peraturan yang secara terperinci membahas mengenai rekam medis elektronik. Perlu adanya peraturan resmi yang jelas menentukan bentuk rekam medis elektronik seperti apa yang harus digunakan, bagaimana penyimpanannya, waktu berlaku, dan sebagainya. Hal ini perlu diatur untuk menjaga keamanan data dan keselamatan pasien serta menjaga kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis.

Belum adanya aturan jelas dan resmi mengenai rekam medis juga bersinggungan dengan informed consent atau persetujuan pasien. Meskipun dengan telemedicine dokter tidak melakukan suatu tindakan terhadap pasien, namun pemberian obat dapat menimbulkan efek samping, misalnya reaksi alergi. Maka sebaiknya pada pemberian obat yang ada kemungkinan menimbulkan efek samping pada pasien, tetap dilakukan informed consent secara tertulis.

Baca juga  Corona Kabupaten Bogor: Positif 97, Sembuh 117, Meninggal Nihil

Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 secara spesifik mengatur mengenai penyelenggaraan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan tren saat ini adalah penggunaan apikasi kesehatan ataupun aplikasi percakapan, di mana pelayanan kesehatan dilakukan secara pribadi antara dokter dan pasien. Hal ini juga tidak diatur dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.

Tidak adanya peraturan tentang hal ini berarti tidak ada pengawasan terhadap telemedicine di luar fasilitas pelayanan kesehatan resmi. Apabila konsultasi medis dilakukan dengan menggunakan aplikasi percakapan secara pribadi, kerahasiaan data pasien menjadi isu serius jika data ini secara tidak sengaja “bocor” ke pihak tidak berwenang yang dapat mengakses aplikasi tersebut. Di samping itu, dokter pelaksana telemedicine juga menjadi rawan terhadap risiko tuntutan malpraktik.

  1. Aspek Pembiayaan

Hal lain yang juga belum diatur secara resmi yaitu terkait tata cara pembiayaan telemedicine, baik melalui fasilitas pelayanan kesehatan resmi atau pun aplikasi kesehatan. Penelitian Indria, Alajlani, dan Fraser terhadap tenaga medis di fasilitas kesehatan primer di Makassar menemukan bahwa minimnya dana khusus untuk telemedicine dinilai menjadi salah satu kendala dalam memberikan pelayanan, terutama di pulau-pulau yang listriknya hanya dinyalakan pada malam hari, sedangkan aktivitas pada siang hari harus menggunakan genset berbahan bakar bensin. Akibatnya, biaya operasional menjadi sangat tinggi.

Pendanaan untuk layanan telemedicine yang diambil dari anggaran operasional menyebabkan penganggaran yang sangat ketat, sehingga sisa dana harus dikelola dengan baik untuk menutupi biaya lain. Selain itu, beberapa responden mengatakan bahwa tidak ada remunerasi untuk dokter yang memberikan pelayanan telemedicine. Perlu diingat juga bahwa penyelenggaraan telemedicine membutuhkan perangkat keras dan perangkat lunak, yang tentunya memerlukan biaya tidak sedikit. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dengan anggaran yang minim.

Baca juga  Ini Susunan Pemain Tira Persikabo Vs Madura United

Pembiayaan telemedicine perlu diatur dengan jelas, terutama dalam masa pandemi ini, dimana hampir semua pelayanan kesehatan dilakukan secara online, untuk mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan, untuk memastikan dokter pemberi layanan mendapatkan imbalan jasa yang sesuai, dan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mampu mengakses telemedicine.

  1. Aspek Infrastruktur Teknologi Informasi 

Hal lain yang tidak bisa dilupakan ketika membahas telemedicine tentunya mengenai keterbatasan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia. Berdasarkan survei mengenai penetrasi dan perilaku pengguna internet tahun 2018 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ditemukan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta atau 64,8% dari populasi.

Meskipun data ini menunjukkan lebih dari setengah populasi masyarakat sudah memiliki akses internet, masih terdapat kesenjangan pengguna internet antar pulau. Pengguna internet terbanyak yaitu di Pulau Jawa (55%), kemudian disusul Pulau Sumatera (21%), Sulawesi-Maluku-Papua (10%), Kalimantan (9%), dan Bali-Nusa Tenggara (5%). Angka-angka ini menggambarkan belum meratanya pembangunan infrastruktur dan capaian layanan teknologi informasi di luar pulau Jawa, yang memengaruhi akses masyarakat terhadap telemedicine.

Penelitian tentang kesiapan tenaga kesehatan di negara maju dan berkembang dalam penerimaan telemedicine menemukan bahwa salah satu penghambat utama dalam implementasi telemedicine adalah infrastruktur teknologi dan jaringan yang belum sepenuhnya baik. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya masyarakat yang mengalami kerugian dari tidak meratanya pembangunan infrastruktur teknologi informasi, namun juga fasilitas pelayanan kesehatan dan dokter-dokter yang berada di daerah terpencil tanpa akses internet, atau fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki infrastruktur memadai untuk menyelenggarakan telemedicine.

Pandemi COVID-19 memberikan peluang untuk menggali isu-isu terkait penggunaan teknologi informasi di bidang kesehatan. Pandemi juga membuat pengembangan infrastruktur informatika dan pedoman hukum untuk mendukung pelayanan kesehatan lebih diperlukan. Pemerintah Indonesia, terutama Menteri Kesehatan dan kementerian lain yang terlibat sebagai key player seyogyanya melakukan upaya-upaya berikut untuk mengatasi hambatan dalam tiga aspek di atas:

  1. Membentuk pedoman atau peraturan resmi sebagai payung hukum pelaksanaan telemedicine yang secara komprehensif mengatur seluruh aspek terkait praktik telemedicine.
  2. Meningkatkan infrastruktur teknologi informasi nasional, seperti koneksi internet yang memadai dengan menjalin kerja sama dengan penyedia jaringan komunikasi, serta mengamankan ketersediaan listrik, terutama di daerah luar perkotaan.
  3. Meningkatkan pendanaan bagi fasilitas pelayanan kesehatan untuk penyelenggaraan Selain biaya operasional dan penyediaan sarana prasarana, dibutuhkan pula biaya pelatihan dan remunerasi bagi tenaga kesehatan yang menyediakan layanan kesehatan melalui telemedicine.

 

Baca juga  Panen Padi di Karawang, Faperta IPB University Tekankan Pertanian Biopresisi, Upaya Efisiensi Produksi dan Penyelamatan Ekologi

Referensi

Abigael, N.F. & Ernawaty. (2020). Literature review: Pengukuran kesiapan tenaga kesehatan dalam menerima telehealth atau telemedicine antara negara maju dan negara berkembang. Jurnal Kesehatan, 11(2), 302-310.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2019, Mei). Survei APJII yang ditunggu-tunggu, penetrasi internet Indonesia 2018. Buletin APJII, Edisi 40, 1-6. Diakses dari https://apjii.or.id/downfile/file/BULETINAPJIIEDISI40Mei2019.pdf pada 18 Juni 2021.

Indria, D., Alajlani, M., & Fraser, H.S.F. (2020). Clinicians perceptions of a telemedicine system: a mixed method study of Makassar City, Indonesia. BMC Medical Informatics and Decision Making, 20(233), 1-8. doi.org/10.1186/s12911-020-01234-7

Kuntardjo, C. (2020). Dimensi etik dan hukum telemedisin di Indonesia : Cukupkah Permenkes nomor 20 tahun 2019 sebagai bingkai praktik telemedisin di Indonesia? SOEPRA, 6(1), 1-14.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top