PHRI Bogor Nilai Kebijakan Izin Air Bawah Tanah Tak Tepat Waktu
BOGOR-KITA.com, MEGAMENDUNG – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan kebijakan baru terkait penggunaan air bawah tanah, khususnya untuk kepentingan komersial seperti industri, hotel, dan air minum dalam kemasan. Dalam aturan tersebut, setiap penggunaan air bawah tanah wajib memiliki izin resmi. Jika tidak, sanksi berupa penutupan sumber air akan diberlakukan.
Kebijakan ini menuai respons dari para pelaku usaha, salah satunya dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bogor, Juju Djunaedi.
Menurut Juju, penerapan kebijakan tersebut kurang tepat, mengingat kondisi sektor perhotelan saat ini sedang lesu akibat rendahnya tingkat hunian.
Ia menyebutkan bahwa banyak hotel kesulitan bertahan di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak pada minimnya jumlah tamu.
“Untuk operasional hotel saja sudah sulit, apalagi untuk menutupi biaya izin air bawah tanah saat ini kami sedang berjuang agar hotel tetap beroperasi,” ujarnya, Rabu (6/8/2025).
Juju juga mengungkapkan kekhawatiran terkait tenggat waktu yang diberikan pemerintah dalam pengurusan izin. Informasi yang diterima menyebutkan, seluruh hotel harus sudah memiliki izin dalam waktu satu tahun. Jika tidak, sumber air akan ditutup.
“Ini justru membuat pelaku usaha bingung dan khawatir. Dalam situasi sekarang, fokus kami adalah menjaga agar operasional hotel tetap berjalan. Membayar gaji karyawan, listrik, dan internet saja sudah menjadi tantangan besar,” bebernya.
Ia juga menambahkan bahwa sebagian besar hotel saat ini bahkan sudah menerapkan sistem kerja bergilir—dua minggu kerja, dua minggu libur—untuk menekan biaya.
Dengan kondisi demikian, lanjut Juju, memproses perizinan air bawah tanah tentu menjadi beban tambahan, apalagi biaya yang harus dikeluarkan belum diketahui secara pasti.
“Yang jelas pasti butuh anggaran, dan pengurusan izinnya harus ke Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat. Ini tentu jadi beban baru bagi kami,” tandasnya. [] Danu