Pakar IPB Soroti Pentingnya AMDAL di Balik Temuan Kayu Gelondongan di Lokasi Longsor Sumut
BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Kepatuhan terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dinilai menjadi poin krusial dalam mencegah bencana hidrometeorologi seperti longsor yang terjadi di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal itu disampaikan Ahli Kebijakan Hutan IPB University, Prof Dodik Ridho Nurochmat, saat menjelaskan temuan kayu gelondongan yang terbawa arus di lokasi bencana.
Dalam sebuah program televisi nasional pada Minggu (30/11/2025) di Jakarta, Prof Dodik menekankan bahwa lemahnya tata kelola lingkungan, termasuk pelaksanaan AMDAL dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, berpotensi memperburuk dampak bencana.
Menurutnya, kayu-kayu besar dan kecil yang tampak berserakan di area terdampak kemungkinan tidak berasal dari satu sumber. Berdasarkan visual yang beredar di media sosial dan televisi, ia menilai kayu tersebut mungkin merupakan campuran hasil penebangan, pohon tumbang, dan sisa pembersihan lahan yang tidak dilakukan secara tuntas.
“Bisa dari penebangan lama atau pembersihan lahan yang tidak tuntas. Jika terbawa arus air, kayu itu akan mengambang. Namun bisa juga dari penebangan baru. Untuk itu harus ada investigasi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa debit air besar saat longsor memungkinkan pohon tumbang ikut hanyut sehingga memperbanyak material kayu di lokasi. Namun, Prof Dodik menegaskan bahwa penentuan apakah kayu itu baru atau lama memerlukan pemeriksaan lapangan lebih lanjut.
Prof Dodik juga menjelaskan perbedaan kayu hasil pembalakan dan kayu tumbang alami. Kayu hasil tebangan biasanya memiliki bekas gergaji yang jelas, sementara kayu tumbang alami tidak menunjukkan pola potongan rapi. Namun, ia menyebutkan bahwa identifikasi mendetail sulit dilakukan hanya dari video atau foto.
“Dari gambar terlihat potongan kayu berukuran kecil dan besar, tetapi tidak bisa dipastikan apakah potongannya rapi atau akibat tumbang alami,” jelasnya.
Terkait penyebab longsor, ia menilai bencana itu merupakan kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia. “Ada cuaca ekstrem, kondisi geografis pegunungan, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia,” katanya.
Mengenai isu deforestasi di Sumatera bagian utara, Prof Dodik menjelaskan bahwa kehilangan tutupan hutan (forest loss) mencakup degradasi, sementara deforestasi memiliki batasan hukum tersendiri. “Di Indonesia, batasnya 30 persen. Jika kurang dari itu, terjadi deforestasi,” ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa penurunan tutupan hutan berdampak langsung pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Prof Dodik menutup dengan menyerukan pentingnya pengelolaan hutan secara berkelanjutan. “Masyarakat harus bisa mengambil manfaat dari hutan tanpa merusaknya,” tegasnya. [] Hari
