BOGOR-KITA.com, DRAMAGA – Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggunakan dana desa untuk program padat karya guna mendongkrak daya beli masyarakat di desa saat menghadapi pandemi Covid-19, sangat mulia.
Hal ini dikemukakan pakar IPB University, Dr Sofyan Sjaf yang juga Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB University kepada BOGOR-KITA.com, Rabu (8/4/2020).
Program padat karya menggunakan dana desa dikemukakan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/4/2020).
Jokowi langsung menginstruksikan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk membuat pedoman dan memberikan panduan agar program padat karya tunai dengan memanfaatkan skema dana desa tersebut dapat terlaksana secara masif dan tepat sasaran dalam rangka memerangi wabah corona atau Covid-19.
“Ini harus diberikan prioritas pada keluarga-keluarga miskin, pengangguran, atau yang setengah menganggur. Kalau bisa memang upah kerja itu diberikan setiap hari. Tapi kalau tidak bisa ya satu minggu,” kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/4/2020).
“Laporan yang saya terima di akhir Maret 2020, dana desa yang tersalur baru 32 persen yaitu hanya pada posisi angka Rp9,3 triliun dari pagu tahap yang pertama sebesar Rp28 triliun. Artinya kalau dari total Rp72 triliun, itu baru 13 persen. Masih kecil sekali,” imbuh Presiden Jokowi.
“Kebijakan padat karya sangat mulia, tetapi jangan sampai salah dalam implementasinya. Untuk itu, jangan sampai kebijakan yang mulia ini akan menambah persoalan baru, yakni semakin banyaknya warga yang terpapar wabah Covid-19,” kata Sofyan Sjaf.
Sofyan Sjaf mengatakan, dalam situasi terus meningkatnya warga yang terinfeksi Covid19, program padat karya harus tetap mempertimbangkan 4 hal. Pertama, protokol kesehatan terkait wabah Covid-19. Kedua, mempertimbangkan efek domino dari wabah Covid-19, khususnya ketersediaan pangan, tenaga kerja di pedesaan. Keempat mempertimbangkan arus migrasi dari kota ke desa.
“Berdasarkan 4 pertimbangan tersebut, maka sudah saatnya padat karya yang dimaksud harus diorientasikan untuk produksi pangan (pertanian, peternakan, dan perikanan). Jadi sudah saatnya tidak memikirkan padat karya untuk untuk aktivitas pekerjaan, selain produksi pangan,” kata Sofyan Sjaf.
Mengapa? Di satu sisi, pekerjaan tersebut berhubungan dengan kebutuhan yang sangat mendesak bagi Indonesia saat ini dan ke depan, serta di sisi lain, dapat meningkatkan pendapatan warga lapisan ekonomi bawah di pedesaan.
“Sudah saatnya Indonesia sebagai negara agraris dikembalikan kesejatiannya,” katanya lagi.
Namun demikian, imbuhnya, penting untuk diperhatikan adalah pemerintah dan jejaringnya harus mendukung program ini. Tidak hanya Kemendesa PDTT, tetapi juga Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan kementerian teknis lainnya.
Terkait memproduksi secara masif pangan di pedesaan, maka ada beberapa yang harus ditekankan. Yakni, ketersediaan saprotan harus disiapkan pemerintah melalui regulasi afirmatif. Benih, pupuk, dan alsintan harus segera disediakan. “Kementan dan KKP harus sigap tentang hal ini. Jika tidak, kita akan mengalami bahaya kekurangan stock pangan dan ujunganya adalah kelaparan,” kata Sofyan Sjaf.
Pemerintah juga harus mendorong sektor swasta untuk memproduksi kebutuhan produksi pangan di pedesaan, terutama terkait dengan benih dan pupuk. Dalam hal ini pemerintah desa harus mampu mengkonsolidasikan lahan-lahan yang tidak optimal di desa untuk dijadikan lahan produksi pangan, selain lahan yang sudah produktif.
Tidak itu saja, pemerintah desa harus mempersiapkan warga desanya yang akan dijadikan sebagai tenaga kerja untuk memproduksi pangan. BUMDes harus digerakkan sebagai lembaga ekonomi desa yang berfungsi sebagai penghubung dengan Bulog dan konsumen di perkotaan.
Demikian juga Bulog harus mampu menampung hasil produksi pertanian dan menghargai dengan layak hasil produksi pangan dari petani.
Sementara pekerja harian lepas yang mudik atau balik ke desa, harus diajak sebagai tenaga kerja untuk memproduksi pangan di pedesaan.
Terkait dengan hal ini, maka Kementerian Ketenagakerjaan harus mampu mengalokasikan pembiayaannya untuk mengedukasi secara cepat dan tepat mereka yang kembali ke desa tersebut.
Perguruan tinggi bisa membantu pemerintah desa untuk memproduksi modul-modul taktis terkait edukasi produksi dan pengolahan pangan. Khusus tentang ini, memanfaatkan mahasiswa yang sudah terlanjur mudik ke kampung halamannya masing- masing adalah langkah untuk mewujudkan Kampus Merdesa.
Khusus untuk pekerja harian yang melakukan migrasi dari kota ke desa, sebelum berinteraksi, maka perlu dilakukan isolasi/karantina selama 14-21 hari. Dalam konteks ini, Kementerian Kesehatan dan Kemendesa PDTT didukung pemerintah desa harus mampu berkoordinasi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di pedesaan. Dalam hal ini dibutuhkan pembiayaan untuk menyediakan rumah isolasi dan sarana pendukungnnya.
Sedang pekerja harian yang bermigrasi ke desa adalah mereka yang produktif dan memiliki skill. “Optimalkan dan fungsikan mereka sebagai garda terdepan penyediaan pangan untuk Indonesia! untuk itu, pemerintah dan pemda harus serius merespon kehadiran mereka,” kata Sofyan Sjaf.
Sofuyan Sjaf mengingatan agar menjadi perhatian serius, terkait efek migrasi kota ke desa yang tinggi saat ini, akan berdampak terhadap tenaga kerja pertanian di pedesaan. Banyaknya populasi tenaga kerja di pedesan yang berusia tua akan rentan terhadap kedatangan para migran tersebut. untuk itu, lakukan dan jalankan protokol kesehatan yang telah dihimbau pemerintah.
“Kebijakan padat karya ini sangat mulia, tetapi jangan sampai salah dalam implementasinya. Untuk itu, jangan sampai kebijakan yang mulia ini akan menambah persoalan baru, yakni semakin banyaknya warga yang terpapar wabah Covid-19,” tutup Sofyan Syaf. [] Hari