OPINI : Narasi Putra Daerah dalam Pilbup Bogor Sudah Tidak Relevan Lagi
Oleh: Ramdan Nugraha
Inisiator Civil Alliance for A Stable and Established Democracy (CASED)
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Kurang dari empat bulan lagi, pada 27 November 2024 mendatang, Pilkada serentak akan diselenggarakan untuk membuka peluang rekonstruksi pemerintahan daerah di berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali dengan Kabupaten Bogor yang merupakan Kabupaten dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hampir menyentuh empat juta orang.
Baliho dan banner yang memuat foto para calon kandidat Bupati Bogor sudah banyak dipampang di banyak titik jalan dan tempat-tempat umum. Berbagai gimik seremonial bahkan telah banyak kita baca dalam pewartaaan berita di berbagai media, baik cetak maupun daring.
Namun, sudah berada pada spektrum mana para calon pemilih, dalam hal ini warga Kabupaten Bogor, untuk menentukan pilihan mereka di dalam bilik suara nanti?
Calon pemilih yang didominasi oleh kelompok milenial yang sekaligus banyak menjadi Pemilih Pemula nanti, menarik untuk kita perbincangkan. Kelompok dengan karakter kritis ini, memiliki kecenderungan “merdeka” dalam mengambil sebuah keputusan, termasuk dalam hal menentukan kepala daerah dalam Pilbup Bogor nanti.
Dalam banyak diskusi dan forum yang pernah penulis ikuti, dimana para pesertanya adalah kelompok milenial, hadir semacam kegelisahan dalam diri mereka, tentang sebuah narasi “putra daerah”, yang dalam beberapa waktu belakangan, menjadi semacam agenda kampanye bagi para kandidat yang mengaku sebagai orang yang lahir, besar, dan tinggal di Kabupaten Bogor.
Bagi kelompok milenial, narasi semacam ini sudah tidak begitu relevan untuk dijadikan sebuah senjata kampanye. Ini disebabkan adanya sikap arogansi sektarian, dimana seorang yang mengklaim diri mereka sebagai putra daerah, cenderung merasa paling berhak dan paling layak untuk memimpin Kabupaten Bogor.
Padahal, sekurang-kurangnya dalam tiga periode kepemimpinan Bupati Bogor terakhir, sang putra daerah telah memimpin, namun dengan cukup banyak catatan yang kurang, bahkan tidak produktif sama sekali, yakni terjerat kasus korupsi dan gratifikasi.
Fakta ini dengan sendirinya telah menjadi antitesa atas narasi kelayakan dan kapabilitas “putra daerah”, yang dengan jelas memperlihatkan tidak adanya jaminan sama sekali bahwa sang putra daerah akan benar-benar merepresentasikan masyarakat Kabupaten Bogor, sekaligus menjawab ekspektasi warga yang pernah memberikan hak suaranya, yang pada akhirnya hanya mencoreng nama baik Kabupaten Bogor sendiri, khususnya mengkhianati amanah dan kepercayaan masyarakat dengan tindakan yang kurang terpuji.
Kelompok milenial Kabupaten Bogor sudah satu langkah lebih maju dalam berpikir, kritisisme mereka terhadap narasi putra daerah menujukkan adanya kedewasaan sikap berdemokrasi. Bahwa dalam alam demokrasi, narasi sektarianisme tidak memiliki ruang yang sehat untuk dikembangkan.
Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan ruang untuk mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas, untuk mengambil peran dalam memberi manfaat kepada publik, termasuk menjadi kepala daerah (baca: meritrokasi).
Sehingga, preferensi kelompok milenial dalam memberikan hak konstitusi mereka dalam Pilbup Bogor 2024 nanti, akan lebih diperkuat dengan narasi kritis yang berkonsentrasi pada visi dan misi calon Bupati, yang benar-benar “napak” dan logis sebagai gagasan yang akan memberikan berbagai gerakan perbaikan terhadap tata kelola dan arah perkembangan daerah Kabupaten Bogor, sekurang-kurangnya dalam lima tahun aktif dan efektif.
Berbagai permasalahan publik yang masih konsisten berada pada deret tangga masalah, faktanya belum juga bisa diselesaikan oleh tiga putra daerah Kabupaten Bogor yang telah menjabat. Baik dalam segi infrastruktur, maupun kualitas sumber daya manusia warga kabupaten Bogor.
Kurangnya lapangan pekerjaan harus memaksa banyak warga Kabupaten Bogor hijrah ke luar kota, seperti Jakarta, Depok, Bekasi dan Tangerang demi menyambung hidup, sehingga Kabupaten Bogor hanya menjadi “tempat tidur”, bukan menjadi rumah untuk setiap warga dalam bekerja dan berkarya.
Kondisi seperti ini disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat rata-rata lulusan diploma, sarjana, magister dan doktor di Kabupaten Bogor. Di sisi lain, mereka yang telah memiliki kualitas pendidikan yang baik, tidak sedikit yang akhirnya mengabdikan diri di kota lain dengan alasan rasionalisasi pendapatan atau sumber penghidupan pokok untuk keluarga.
Alhasil, Kabupaten Bogor jalan ditempat, permasalahan masih sama bahkan bertambah. Semua ini bisa kita prediksi karena banyaknya warga yang menjadikan Kabupaten Bogor hanya sebagai rumah singgah, bukan rumah tinggal, dimana seluruh kegiatan kreatif warganya, dilakukan di kota lain dan berdampak hanya kepada wilayah dimana mereka bekerja dan bersosialisasi.
Catatan ini penting untuk dijadikan pertimbangan serius bagi seluruh calon kandidat Bupati Bogor, bahwa berkampanye dengan narasi “putra daerah”, sama sekali sudah tidak relevan lagi hari ini. Konsekuensinya, setiap bakal calon sudah harus mempersiapkan diri, tentang gagasan dan ide radikal apa yang bisa secara signifikan membawa perubahan yang lebih baik untuk seluruh masyarakat Kabupaten Bogor ke depan.