Kab. Bogor

OPINI: Jika bukan OTT, Bagaimana Seharusnya Prosedur Penangkapan?

Oleh: Devyani Petricia Barus, S.H

(Advokat pada Lumbung Hukum Legal&Consultant)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Bupati Bogor Ade Yasin dijemput KPK untuk dimintai keterangan terkait dugaan suap yang dilakukan oleh sejumlah ASN Pemkab Bogor kepada perwakilan BPK Jawa Barat.

Ade Yasin dijemput pada tanggal 27 April 2022 sekitar pukul 03.00 WIB di kediamannya yang disaksikan oleh putri sulungnya yaitu Nadia Hasna. Saat sang putri bertanya kepada pegawai KPK alasan penjemputan ibunya, KPK menjelaskan bahwa Ade Yasin dijemput untuk dimintai keterangan terkait dugaan suap yang dilakukan bawahannya yaitu ASN Pemkab Bogor.

Mengenai penjemputan Ade Yasin dilakukan di rumah, saat sedang tidak melakukan kegiatan apa pun dan dijemput dengan dalil ingin dimintai keterangan, apakah hal tersebut pantas dinamakan operasi tangkap tangan (OTT)?

Menilik Pasal 1 butir 19 KUHAP setidaknya tertangkap tangan bisa diartikan tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.

Penangkapan adalah tindakan pengekangan kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk kepentingan pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksan di persidangan.

Baca juga  Sopir Ambulans Desa Perlu Diperhatikan

Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana, dan dugaan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Makna dari Pasal 17 KUHAP tersebut tidak lepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Jika berbicara mengenai bukti permulaan, lebih dahulu kita harus mengenal alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Fungsi bukti permulaan yang cukup itu sendiri dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Dalam kasus KPK, apabila penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, penyidik harus melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan dan tidak dapat juga untuk melakukan penangkapan.

Dalam hal penetapan Tersangka dengan belum adanya atau belum ditemukannya bukti permulaan, hal tersebut bertentangan dengan proses penyidikan dalam hukum acara pidana. Bahwa tindak pidananya saja belum tentu terjadi karena buktinya belum memadai, apalagi kemudian berkenaan dengan status Tersangkanya. Tindakan tersebut adalah tindakan kesewenang-wenangan dan perampasan terhadap hak asasi manusia.

Baca juga  404 Calon Jamaah Haji Diberangkatkan Pemkab Bogor

Lain hal apabila penyidik telah mengantongi bukti permulaan yang cukup dan akan melakukan penangkapan, pada saat melakukan penangkapan maka petugas wajib memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada orang yang akan ditangkap.

Surat perintah tersebut harus mencantumkan identitas orang yang akan ditangkap secara jelas. Surat perintah penangkapan juga harus menyebutkan alasan penangkapan, dilengkapi dengan uraian singkat mengenai tindak pidana yang diduga dilakukan oleh orang yang akan ditangkap tersebut.

Setelah jelas mengenai prosedur penangkapan dan penetapan sebagai tersangka, apabila dinilai prosedur tersebut telah dilakukan secara sewenang-wenang tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia atau melanggar pasal 18 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manisa terkait asas praduga tak bersalah yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka berhak menuntut rehabilitasi jika penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaannya dilakukan tanpa alasan hukum yang sah atau adanya kekeliruan mengenai orang maupun hukum yang diterapkan.

Baca juga  Plt Bupati Bogor Takziah Temui Ridwan Kamil dan Keluarga

Permintaan rehabilitasi untuk tersangka yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dilakukan melalui proses praperadilan. Hal demikian untuk memastikan keabsahan penangkapan atau penahanan yang dialami seseorang dalam tahap penyidikan.

Mengenai Praperadilan, Pasal 1 angka 10 KUHAP menyebutkan “Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus cara yang diatur undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum oleh keadilan
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Rehabilitasi itu sendiri adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang No, 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top