Nasional

Mengenal Lembaga Eijkman Yang Sedang Membuat Obat Corona

BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Beberapa hari terakhir ini, banyak disebut-sebut nama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, atau Lembaga Eijkman. Penyebutan nama lembaga ini terakait dengan prakarsa lembaga tersebut untuk membuat obat corona dengan bahan dasarnya adalah plasma darah pasien corona yang sudah sembuh. 

Dikutip dari Wikipedia disebutkan, plasma darah adalah komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang menjadi medium sel-sel darah, di mana sel darah ditutup. Sebanyak 55% dari jumlah/volume darah merupakan plasma darah. Volume plasma darah terdiri dari 90% berupa air dan 10% berupa larutan protein, glukosa, faktor koagulasi, ion mineral, hormon dan karbon dioksida.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman akan bekerja sama dengan palang Merah Indonesia sebagai penyuplai darah dari pasien corona yang sudah sembuh. Lembaga Eijkman sebelumnya mengambil cukup banyak peran menangani corona di Indonesia

Lembaga Eijkman

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman atau Lembaga Eijkman (LBME), adalah lembaga penelitian biologi molekuler berstatus satuan kerja di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikiti RI).

Nama Lembaga Eijkman dipakai untuk menghormati Christiaan Eijkman, peneliti berkebangsaan Belanda yang menjabat direktur pertama sekaligus penerima penghargaan Nobel bidang kedokteran pada tahun 1929 atas penemuan konsep vitamin, ketika melakukan studi penyakit beri-beri di Batavia.

Baca juga  INFOBRAND.ID Kembali Luncurkan Katalog Corporate & Brand Champions 2025

Lembaga Eijkman berawal tahun 1888, saat pemerintah Hindia Belanda mendirikan Geneeskundig Laboratorium atau Laboratorium Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Batavia. Christiaan Eijkman ditunjuk sebagai direktur pertama dan menjabat sejak 15 Januari 1888 hingga 4 Maret 1896.

Pada tahun 1938, bertepatan dengan peringatan 50 tahun berdirinya institusi ini, nama Lembaga Eijkman mulai digunakan sebagai bentuk penghargaan terhadap Christiaan Eijkman.

Christiaan Eijkman meraih hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1929 atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri yang disebabkan oleh kekurangan senyawa yang terdapat pada kulit beras, sebuah konsep yang menjadi cikal-bakal penemuan vitamin.

Sejak tahun 1938, Lembaga Eijkman dipimpin oleh Prof. Dr. Achmad Mochtar hingga tahun 1945 akibat hukuman pancung oleh tentara Jepang untuk menyelamatkan peneliti-peneliti di institusinya yang dituduh mencemari vaksin tetanus. Dr. Achmad Mochtar adalah orang Indonesia pertama yang menjabat posisi sebagai direktur Lembaga Eijkman.

Akibat pergolakan ekonomi dan politik Indonesia pada tahun 1960-an, Lembaga Eijkman ditutup dan digabungkan dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo.

Baca juga  UNAIR Temukan Lima Kombinasi Obat yang Efektif Tangani Covid-19

Tiga dekade kemudian pada bulan Desember 1990, dalam rangka memperingati satu abad penemuan defisiensi vitamin B1 sebagai penyebab beri-beri oleh Christian Eijkman, B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi memutuskan untuk membuka kembali Lembaga Eijkman.

Lembaga Eijkman secara sah dihidupkan kembali pada Juli 1992. Laboratorium mulai beroperasi pada April 1993 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1995. Lembaga Eijkman di era baru dipimpin oleh Profesor Sangkot Marzuki sejak tahun 1992 hingga tahun 2014. Tahun 2014 hingga sekarang, jabatan Direktur Lembaga Eijkman dipegang oleh Profesor Amin Soebandrio.

Lembaga Eijkman sudah memiliki pengalaman panjang dalam menangani penyakit infeksi yang baru timbul. Pengalaman tersebut diantaranya adalah Identifikasi, isolasi dan kajian molekuler Flu Burung (H5N1), tahun 2005, Identifikasi, isolasi, dan karakterisasi molekuler virus West-Nile (pertama dan satu-satunya di Indonesia, tahun 2012, identifikasi, isolasi dan kajian molekuler Virus Zika yang pertama dan satu-satunya di Indonesia, tahun 2015, bantuan penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) tifoid dan leptospirosis di Jeneponto tahun 2019, identifikasi mikroba pada populasi pemburu, pedagang dan konsumen satwa liar di Tomohon Sulawesi Utara yang berhasil mendeteksi keberadaan virus Corona di manusia.

Baca juga  Dapat Sinyal Dukungan dari Sejumlah Ketua Partai, DAS Siap Bertarung Kembali di Pilkada Kabupaten Poso

Fasilitas, reagensia dan pengalaman yang sama dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus COVID-19 dalam sampel pasien terduga. Saat ini semua fasilitas, reagensia, dan sistem telah dioptimasi untuk mendeteksi virus COVID-19.

Dikutip dari Tempo, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyebut ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan mengapa dalam empat hari terakhir, jumlah pasien sembuh Covid-19 menanjak.

“Yang pertama, dokter dan rumah sakit lebih siap. Atau, pasien lebih dini datang ke rumah sakit. Lalu, protokol pengobatan lebih siap, dan daya tahan tubuh pasien lebih baik seperti contoh mungkin karena usia muda,” ujar Amin melalui pesan teks pada Senin, 20 April 2020.

Berdasarkan data resmi dari Kementerian Kesehatan hingga 19 April 2020, pasien sembuh kini mencapai 686 orang. Sedangkan kasus meninggal sebesar 582 jiwa. Adapun kasus positif Covid-19 adalah 6.575 kasus. [] Admin

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top