Pendidikan

Mahasiswa IPB University Kampanyekan Penanganan Perubahan Iklim Melalui Pengaturan Makan Rendah Karbon

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Empat mahasiswa IPB University, Nia Imaniar, Muhammad Sabilal, Anny Nila, dan Muhammad Zaidan, berusaha mengampanyekan penanganan perubahan iklim melalui pengaturan makan rendah karbon (low carbon diet). Upayanya itu dilakukan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Riset Sosial Humaniora. Program PKM ini mendapat pendanaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Nia Imaniar, Ketua Kelompok PKM ini menjelaskan nantinya, program ini akan diikuti sedikitnya 30 responden. “Responden tersebut akan mengikuti intervensi pendidikan gizi terkait low carbon diet. Intervensi diberikan melalui webinar dan focus group discussion (FGD),” ujar Nia Imaniar, mahasiswa IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat dalam rilis IPB University, Kamis (15/7/2021).

Dosen Pembimbing PKM, Muhammad Aries, SP, MSi, mengatakan, low carbon diet (LCD) merupakan sebuah upaya sederhana untuk membantu menangani perubahan iklim di Indonesia. “Berbeda dengan diet pada umumnya, low carbon diet membawa misi besar yaitu menangani perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas konsumsi manusia,” ujar dosen IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat ini.

Baca juga  Guru Besar IPB Temukan Marker Genomik Domba Penghasil Daging Premium

Lebih lanjut ia menerangkan, LCD dapat menghasilkan butterfly effect. Hal ini karena LCD bukan hanya memiliki tujuan untuk kesehatan, melainkan juga tujuan yang lebih besar terkait dengan perbaikan iklim.

“Bagaimana kemudian hal sederhana yang biasa kita lakukan sehari-hari, yaitu mengatur pola makan dan memilih makanan, bisa memberikan efek perbaikan iklim. Sama seperti butterfly effect,” tambah Muhammad Aries dalam Webinar Series Low Carbon Diet, (10/7/2021).

Ternyata, lanjutnya, pemilihan makanan yang kita lakukan, meskipun sederhana ternyata dapat berefek sangat besar bagi seluruh dunia. Ia pun berharap, low carbon diet dapat menjadi saran sederhana yang dapat diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Terkait low carbon diet, Rosyid Amrulloh, alumnus IPB University menyatakan, perlu direalisasikan. Pasalnya, pola konsumsi yang dilakukan turut mendorong sektor pertanian berkontribusi sebesar 24 persen dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca (EGRK).

Baca juga  Mahasiswa IPB Manfaatkan Buah Pedada untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Betara Kanan

“Kontribusi sektor pertanian dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca tidak terlepas dari pola konsumsi yang kita lakukan selama ini. Hal ini karena dari produksi hingga makanan siap disantap itu menghasilkan emisi gas rumah kaca,” ujar alumnus IPB University dari Fakultas Pertanian ini.

Ia menyebut, daging merah (daging sapi, babi, dan domba) dan produksi susu bersama-sama menyumbang hampir setengah dari emisi gas rumah kaca yang terkait dengan rantai pasokan makanan di Amerika Serikat. Daging merah dan susu menyumbang 48 persen EGRK, sedangkan sayur dan buah hanya 11 persen. Produk lain seperti minyak nabati, serealia, dan produk makanan olahan menyumbang sebesar 32 persen. Adapun ikan dan unggas menyumbang EGRK sebesar 10 persen.

Baca juga  Telemedicine pada Masa Pandemi Covid-19: Hambatan dalam Upaya Adaptasi

Sementara, Atika Rahma, menekankan tentang pentingnya pengaturan makan rendah karbon. Ia menyebut, penting untuk mengetahui berapa besar jejak karbon yang dihasilkan dari konsumsi sehari-hari. Untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, ada beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan. Hal-hal tersebut di antaranya mengurangi konsumsi daging merang, susu, dan keju; memilih makanan dengan pengolahan seminimal mungkin; memilih bahan pangan lokal bahkan bisa langsung membeli dari petaninya; membatasi penggunaan kemasan plastik; membeli makanan seperlunya; menanam sayur sendiri; serta memilah sampah dan mendaur-ulangnya.

“Jejak karbon rata rata per orang secara global hampir mencapai 5 ton per tahun, sedangkan idealnya adalah 2 ton per tahun. Angka tertinggi di sebuah negara maju sampai 17 ton per tahun. Bandingkan dengan negara termiskin yang hanya 0,1 ton per penduduk per tahun,” ujar Atika Rahma. [] Hari

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top