Oleh : Erlangga Pratama
BOGOR-KITA.com, JAKARTA – Menyambut HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember 2019, sudah dikampanyekan oleh kalangan pendukung separatis Papua baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk memeriahkan pengibaran bendera bintang Kejora di beberapa negara pada 1 Desember 2019 melalui acara “Global Flag Raising.”
Kampanye tersebut disebarluaskan melalui media online https://www.freewestpapua.org/2019/10/30/join-the-global-flag-raising-for-west-papua/.
Menurut propaganda kelompok ini, kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperingati 58 tahun berkibarnya Bendera Bintang Kejora, sekaligus bentuk dukungan kemerdekaan West Papua dan penentuan nasib sendiri.
Juru bicara Free West Papua Campaign, Raki Ap intinya menjelaskan bahwa bendera Bintang Kejora adalah semangat untuk kemerdekaan, simbol rumah orang West Papua, merepresentasikan mimpi mereka untuk hidup merdeka dan damai (The land of West Papua will always be remembered as the birth place of the Morning Star, which is the last glimpse of night as the sun rises. The Morning Star has guided seafarers to West Papua’s shores for thousands of years, and so too it will also guide us to freedom. The Morning Star is the symbol of our home, and represents our dream to live independently and in peace. This is why we will keep calling on our friends around the world to participate in raising the Morning Star flag alongside us, and continue asking then to show Indonesia they affirm our path to freedom and right to self-determination).
Sebenarnya ajakan pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2019 adalah tidak masuk akal. Jika masyarakat global mengetahui kejahatan kemanusiaan yang dilakukan OPM di tanah Papua tentunya mereka tidak akan mengikuti acara “Global Flag Raising” tersebut. Bahkan akan sepakat menempatkan OPM bersama pendukungnya sebagai kelompok separatis yang levelnya dapat disamakan dengan kelompok teroris.
Aksi-aksi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan OPM yang perlu diketahui oleh publik Indonesia ataupun dunia internasional seperti yang terjadi tanggal 25 Oktober 2019 di Kabupaten Yahukimo, di mana kelompok OPM menculik salah seorang mekanik truk dan salah seorang PNS/ASN yang sedang mengendarai sepeda motor Yamaha Vixion. Bahkan dikabarkan, PNS/ASN itu mengalami luka panah pada perut bagian belakang tembus paru-paru, sedangkan mekanik truk luka pada bagian dada atas sebelah kanan akibat terkena panah.
Sebelumnya, Helikopter (PK-IWD) milik salah satu perusahaan swasta ditembaki kelompok OPM yang dipimpin Lekagak Telenggen ketika berada di atas daerah Kampung Olenki Distrik Ilaga Utara Kabupaten Puncak ketika sedang menuju pulang pada tanggal 16 Oktober 2019. Penembakan tersebut mengenai pintu bawah sebelah kiri Helikopter (PK-IWD) yang tembus sampai kaca depan.
Sebelumnya, tanggal 12 Oktober 2019 di Pasar Lama, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua, terjadi penyerangan dengan menggunakan parang terhadap pedagang nasi goreng, kemudian sehari setelah itu terjadi penyerangan dan pencurian terhadap harta benda kaum pendatang di daerah jalan Paradiso, Distrik Dekai, di mana kader OPM menyerang warga yang sedang melakukan ronda atau jaga kampung pada malam hari.
Setelah menyerang kader OPM melarikan diri menggunakan sepeda motor. Kemudian juga ada pemberitaan terkait rombongan BBPJN PUPR yang diserang panah di Kabupaten Yahukimo, Papua (baca http://detik.id/6HkcHZ).
Kelompok pendukung separatis tampaknya juga terus memprovokasi dan mengajak masyarakat Papua untuk anti terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan dilakukan melalui ibadah rutin oleh kelompok yang disebut NRFPB atau Negara Republik Federal Papua Barat di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, di mana salah satu petinggi NRFPB mengimbau peserta ibadah untuk tidak mengurangi semangat perjuangan referendum dan pembebasan tanah Papua karena hasil sidang umum PBB yang dilakukan saat ini belum jelas.
Kemudian saat dilakukan penggeledahan dan pembongkaran rumah yang merupakan markas Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Timika di Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Papua, masyarakat Indonesia dan internasional akan terbelalak dengan barang bukti yang ditemukan yaitu 115 anak panah beserta 22 busur, 1 kapak, 2 parang, 2 senapan angin, atribut bercorak Bintang Kejora seperti papan kayu, tas Noken, gelang dan ikat kepala serta barang bukti lainnya, termasuk diamankan tiga orang di lokasi yang anehnya ada yang berstatus guru dan pemuda Papua yang berstatus mahasiswa dari Bandung, Jawa Barat.
Dari fakta-fakta di atas, dan beberapa kejadian mengerikan lainnya di bulan-bulan sebelumnya, maka masyarakat internasional tampaknya tidak perlu mengikuti acara “Global Flag Raising” kecuali mereka bagian dari kelompok kepentingan jahat yang mencoba menerapkan color revolutions di Papua, sebagaimana mereka telah melakukannya di Haiti, Peru, Chile dan Hongkong dengan berbagai motif penyulutnya.
[] Penulis, adalah pemerhati masalah Papua.