Kab. Bogor

Ekowisata Kabupaten Bogor dalam Kaidah Vitruvius

Oleh: Walang Gustiyala

(Mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong, Kabupaten Bogor).

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Kaidah paling dasar dalam penataan kota dengan berbagai arsitekturnya masih tetap sama seperti yang dicanangkan Marcus Vitruvius Pollio ratusan tahun lalu, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan).

Tiga hal ini harus diselaraskan dengan perhitungan yang matang lantaran kondisi sosial hari ini jauh berbeda dengan masa hidup Vitruvius.

Perhitungan tersebut tentu diawali dengan menjawab pertanyaan: ‘Apakah para arsitektur kota yang telah dan hendak dibangun cukup ramah terhadap alam lingkungan, atau malah sebaliknya?’

Tentu akan menjadi luka mendalam jika pembangunan infrastruktur tidak menunjang pengembangan wisata alamnya, karena yang ideal adalah ketika makmur secara ekonomi berbanding lurus dengan lestari secara ekologi.

Unsur lain yang juga harus diperhitungkan adalah penghayatan mendalam secara spiritual dan emosional tentang utilitas infrastruktur, karena setinggi dan sememukau apapun tata kota bila yang merasuk ke dalam alam pikiran masyarakat sebatas kemegahan venustas dan kehebatan firmitas-nya saja, maka budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan akan kehilangan perannya. Oleh karena itu, warga Kabupaten Bogor harus pandai-pandai menguak filosofi tersembunyi dari bentuk infrastruktur kotanya.

Pariwisata sendiri sampai detik ini masih terhitung sebagai sektor riil salah satu sumber kongkret devisa negara, sementara Kabupaten Bogor masih diperhitungkan sebagai kawasan yang berani bersaing dengan daerah-daerah lain dalam menjajakan kepariwisataan. Lebih-lebih tempat rekreasi dengan tema alam lingkungan. Tidak aneh bila tahun 2016 lalu kabupaten dengan 40 kecamatan ini mendapat peringkat kesembilan dalam Indeks Pariwisata Indonesia dari kementerian terkait.

Salah satu program utama Kabupaten Bogor saat ini adalah menggali potensi kepariwisataan, dalam upaya membangun kultur dan infrastruktur bagi masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Baca juga  Wakil Bupati Bogor: Penyelenggara Pemerintah Harus Profesional

Hal ini jelas tepat sekali lantaran obyek-obyek wisata Kabupaten Bogor memiliki daya tarik tersendiri yang dirasakan setiap orang setiap kali mendengar nama daerah tersebut, entah karena terbayang keelokan kawasan Puncak, berbagai air terjun, kearifan lokal, kebudayaan yang luhur, lingkungan yang agamis, atau cukup suasana asri setiap perkampungannya.

Namun daya tarik saja tidak cukup bila tidak ditopang fasilitas yang memadai. Oleh karenanya yang paling penting untuk diperkuat adalah sektor ancillary, atau lembaga resmi kepariwisataan.

Lembaga khusus ini seyogyanya terorganisir di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang bertugas merapikan manajemen setiap obyek wisata. Hal inilah yang mendesak untuk dievaluasi dan digenjot lebih kencang oleh pemerintah Kabupaten Bogor.

Secara topografis dan morfologis, wilayah Kabupaten Bogor berupa dataran tinggi, perbukitan, dan pegunungan yang ditopang tanah yang sangat subur untuk beragrobisnis. Tidak ganjil bila obyek wisata di Kabupaten Bogor hampir keseluruhan berupa wisata alam, yang boleh dibilang semuanya menginduk ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak di satu sisi dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di sisi lain.

Melalui gambaran singkat di atas, sekilas tampak jelas bahwasannya benang kusut yang perlu diurai adalah peran aktif berbagai pihak dalam mengelola, mengembangkan, serta merapikan manajemen infrastruktur obyek wisata Kabupaten Bogor.

Hasil penelitian Tri Rahayuningsih dan Harini Muntasib (Media Konservasi, 2012) menyebutkan bahwa setidaknya ada lima kendala dan permasalahan yang dihadapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor dalam kaitannya memajukan sektor ekowisata di Kabupaten Bogor.

Yakni, skema keuangan; persepsi para pihak; pasar; dukungan bermacam pihak terbilang rendah; serta koordinasi yang tidak cukup efektif.

Baca juga  Bertemu Wapres, Pj Bupati Bogor Paparkan Penataan Kawasan Puncak dan Jalur Puncak 2

Semua kendala dan permasalahan inti tersebut masih kita jumpai hingga hari ini, dan bila ditelisik muaranya adalah birokrasi pengelolaan masing-masing obyek wisata.

Kendala pertama misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa fakta perumusan rencana tidak diikuti dengan penyediaan atau alokasi anggaran untuk pelaksanaan agenda tersebut. Lantas akibat yang ditimbulkan tidak adanya kesinambungan antara rencana dan pelaksanaan di lapangan.

Bila tidak lekas diatasi, hal ini akan menjadi batu penghalang laju pengembangan pariwisata yang memancing kemunculan kendala-kendala baru.

Sekelumit permasalahan tersebut adalah tantangan masa depan pariwisata Kabupaten Bogor ditinjau dari segi intrinsiknya, belum termasuk yang bersifat ekstrinsik yang di antaranya, sejauh mana pengembangan pariwisata di Kabupaten Bogor memengaruhi kesehatan ekologinya?

Bila penelitian terkait tidak lekas diselami, cepat atau lambat yang lebih dulu tenggelam adalah utilitas pembangunan Kabupaten Bogor sendiri.

Boleh jadi sudah dimulai dan akan terus dilakukan oleh sejumlah pakar, tentu itu lebih baik, selama pemerintah setempat tidak acuh begitu saja terhadap apapun hasilnya.

Berkenaan dengan konstruksi dan nilai estetika, infrastruktur pariwisata tidak membutuhkan banyak tangan, karena bilamana tepat secara utilitas serta tidak merugikan kelestarian ekologi, maka prasarana pembangunan dan pengelolaan bisa sepenuhnya dipercayakan pada ahlinya secara teraudit.

Kasus sengketa MNC Land dengan warga Kampung Ciletuh di Kecamatan Cigombong akhir-akhir ini bisa dijadikan obyek pembelajaran. Layaknya berbagai kasus hukum, sengketa tersebut bisa dikaji dari berbagai sudut pandang. Sekilas bila dilihat dari tuntutan dan aspirasi yang warga layangkan melalui aksi unjuk rasa, tampak jelas itu soal tuntutan untuk menghentikan laju pembangunan MNC Land yang dinilai merugikan warga. Namun tidak menutup kemungkinan dapat dikaji dari sektor lain seperti kepariwisataan, karena dilihat dari rancangan pembangunannya mengatasnamakan Entertainment City yang di masa mendatang kabarnya siap bersaing dengan Disneyland.

Baca juga  Corona Kabupaten Bogor: Positif, 53, Sembuh 53, Meninggal 1

Tanpa mengesampingkan luka warga Ciletuh dan sekitarnya, proyek pariwisata tersebut secara khusus juga telah melukai lingkungan hayati setempat. Inilah tolak ukur dalam laju penataan kota, bila kaidah lampau Vitruvius mengharuskan proyek pembangunan hanya cukup memenuhi tiga kriteria: fungsional, kokoh, dan estetis, maka dalam konteks dunia modern pembangunan berbasis ramah lingkungan (eco-friendly) hukumnya fardlu ‘ain.

Angka eksploitasi dalam pembangunan wisata Lido yang sedang berlangsung tidak tanggung-tanggung, sekitar 3.000 hektare. Sekitar 700 hektare di antaranya akan disulap menjadi resor mewah bintang enam, lengkap dengan bermacam lapangan golf, spa, sederet vila mewah dan kondominium kelas kakap.

Data terbaru memperkirakan tidak kurang dari 2.000 jenis tanaman, 250 macam unggas, serta ribuan spesies bernyawa lainnya diambang kebinasaan. Bila memang harus demikian cara mainnya, masih pantaskah membanggakan sebutan Kota Wisata Alam (Ekowisata) bila yang dirusak dari proyek-proyek pariwisata adalah alamnya sendiri?

Tidak hanya di kawasan Lido Resort, kasus serupa terjadi di banyak tempat, seolah-olah merusak lingkungan atas nama pembangunan bukanlah tindakan kriminal.

Kabupaten Bogor selain harus memperbaiki kinerja sektor pariwisata dalam bingkai intrinsiknya. Juga wajib memperhitungkan dampak-dampak negatif di segi ekstrinsiknya. Karena hanya dengan begitu kesaktian semboyan Prayoga Tohaga Sayaga dapat dirasakan minimal dalam pembangunan pariwisata, yaitu perjuangan masyarakat Kabupaten Bogor yang gigih dan tegar, selalu siap dan siaga menghadapi perusakan-perusakan lingkungan yang menghalangi keadilan dan kemakmuran yang diajarkan Pancasila. [] Cigombong, 10 Oktober 2020

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top