Analisis Dr Hendro Soal Membesarnya Perhatian AS terhadap Indonesia Pasca Omnibus Law
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Saya bukan ahli politik atau ekonomi politik. Namun demikian, gencarnya respon Amerika Serikat (AS) dan Jepang setelah Omnibus Law (OL) cukup menjadi perhatian, karena selama ini Indonesia di bawah Presiden Jokowi, dinilai lebih condong ke China.
Hal ini dikemukakan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan (FE Unpak) Bogor Dr Hendro Sasongko kepada BOGOR-KITA.com, Minggu (1/11/2020).
Dalam catatan BOGOR-KITA.com, perhatian AS terhadap Indonesia pasca OL, sangat gencar. World Bank misalnya, mengatakan bahwa OL merupakan reformasi besar-besaran. Kemudian Perdana Menteri Jepang yang merupakan sekutu AS di Asia, berkunjung ke Indonesia, dilanjutkan kunjungan Menteri Luar Negeri AS. Terbaru, ada kebijakan bebas bea lebih 3.000 produk AS ke Indonesa.
Apakah ini berarti Jokowi yang semula condong ke China, mulai melirik investasi atau kerja sama ekonomi dengan AS seperti zaman Orde Baru?
Dr Hendro Sasongko mengatakan, hal itu lebih sebagai dinamika hubungan Indonesia dengan kedua negara adidaya, China dan AS.
Hendro menjelaskan, kalau pemerintah memberi perhatian khusus kepada China dan AS, ya wajar saja, karena dua negara itu adalah negara importir terbesar produk Indonesia.
Dalam periode Januari – Juli 2020, nilai ekspor kita (FOB/ Free On Board) ke China dan AS adalah USD 16,5 miliar dan USD 10, 2 miliar, atau hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia selama periode tersebut.
Demikian pula investasi kedua negara itu termasuk yang terbesar. Jika tahun 2018, investasi China adalah nomor 3 dengan nilai sekitar USD 1,8 miliar, maka tahun 2019 meningkat menjadi nomor 2 dengan nilai investasi sekitar USD 4,74 miliar.
Sampai semester I 2020, investasi China masih nomor 2 dengan nilai sekitar USD 2,4 miliar. Sementara AS tetap masuk dalam 10 besar negara yang berinvestasi di Indonesia.
Namun jangan lupa peran sangat strategis negara ini dalam percaturan ekonomi dan politik global.
Oleh sebab itu, kita maklum jika pemerintah tidak akan masuk hanya di poros salah satu negara adidaya tersebut.
Jelas aspek utama yang harus dimiliki pemerintah adalah diplomasi politik, terserah, apakah dilakukan melalui kemasan kerja sama ekonomi, teknologi dan sebagainya.
Kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo ke Indonesia belum lama ini, jelas membawa misi misi tertentu, yang salah satunya adalah mengurangi pengaruh China di kawasan Asia Tenggara.
Pemerintah tampaknya mulai “mengeluarkan kartu truf”, yaitu dengan mengundang investasi AS di kawasan Natuna, yang justru sejak beberapa waktu lalu menjadi kawasan sarat konflik antara China dengan beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.
Lalu bagaimana relevansinya dengan Omnibus Law?
Hendro mengatakan, karena salah satu agenda OL ini adalah kemudahan investasi, maka diyakini ada benang merahnya dengan strategi positioning Indonesia dalam konflik di Laut China Selatan.
Diplomasi ekonomi menjadi opsi utama Indonesia, karena sebagai negara non blok, Indonesia sangat menghindari bentuk poros kerja sama pertahanan dengan salah satu negara adidaya tersebut.
Bagaimana juga dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang?
“Saya yakin itu juga terkait, karena kita tahu Jepang merupakan mitra utama AS untuk kawasan Asia, dan yang menarik, adanya rencana pengalihan investasi Jepang dari China ke negara negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” kata Hendro.
Sekali lagi, OL menjadi salah satu “syarat” dan “entry-point” untuk peluang shifting-nya investasi Jepang ke Indonesia.
“Jangan lupa, adanya persaingan antara Jepang dan China dalam investasi infrastruktur di Indonesia, sejak proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung (yang telah dimenangkan oleh China) dan proyek sejenis untuk Jakarta – Surabaya, yang infonya diberikan kepada Jepang. [] Hari