Nasional

Karantina Vito Corleone dan Pola Baru Akibat Pandemi

Oleh: Walang Gustiyala,

(Pengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Kabupaten Bogor)

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Vito Andolini Corleone baru berusia sembilan tahun ketika ia harus menjalani karantina selama tiga bulan di pulau Elis lantaran smallpox, cacar. Ia yang sedari awal membisu, diam-diam menggemingkan lagu sedih di kamar sempit yang jendelanya langsung menghadap patung Liberti.

Siapapun boleh menafsirkan apa yang membuat Vito sedemikian murung dan bisu, namun siapa saja tahu bahwa bukan cacar yang membuat sorotnya begitu luka dan berduka.

Karantina tersebut terjadi pada tahun 1901, sebuah lembaran baru abad ke-20. Vito baru saja lari dari buruan mafia lokal di kampung bernama Corleone di Sisilia, jauh di Italia sana. Seorang mafia berjulukan Don Ciccio telah membunuh ayahnya, kemudian kakak lelakinya, dan terakhir ibunya, demi menyelamatkan diri Vito berlayar ke negeri Paman Sam, sebuah negeri yang konon hanya bisa ditaburi benih-benih mimpi. 

Adegan singkat di atas terjadi dalam film The Godfather Part II (1974), film yang paling saya suka dari trilogi The Godfather garapan Francis Ford Coppola.

Tidak diceritakan apa saja yang dilakukan dan dipikirkan Vito Corleone dalam kurun duabelas minggu itu, menurut saya untuk memberi ruang bagi penonton supaya bisa mereka-reka sendiri. Hal seperti ini terkadang diperlukan dalam sebuah film, tujuannya antara lain supaya penonton merasa memiliki dan terlibat dalam pembuatannya.

Beberapa malam lalu saya mengirim pesan ke seorang kawan yang jauh lebih gandrung pada The Godfather dibanding siapapun yang saya kenal. Saya sampaikan penafsiran saya bahwa adegan sepele yang tidak dijelaskan tersebut justru merupakan titik pusat dalam semesta The Godfather. Bagaimana bisa?

Menjalani karantina selama tiga bulan, siapapun tidak-mungkin-tidak memikirkan sesuatu dengan kapasitas logika dan daya serap masing-masing. Minimal si kecil Vito mempertanyakan eksistensinya sebagai manusia sambil meratapi yang terjadi terhadap keluarganya; paling tidak ia mampu menyusun rencana apa yang musti ditempuhnya seusai karantina; atau sekadar menyusun resolusi dendam yang mustahil tidak bertunas dalam lubuk hatinya.

Baca juga  Tingkatkan Upaya Kolaborasi, LKC Dompet Dhuafa Gelar Event Partnership Forum 2024

Singkat kata, menjadi manusia sehebat apapun Vito di kemudian hari, kemungkinan besar adalah buah dari benih yang diam-diam ia tanam dan sirami semasa menempuh karantina.

Kepada kawan tersebut saya juga menyampaikan bahwa Vito Corleone berhasil menemukan falsafah karantinanya sendiri. Kini, dengan segala daya dan kecerdikan, giliran kita mengais ilmu sebanyak mungkin dari social distancing yang entah kapan berakhir ini. Demi hidup yang lebih berkualitas tentunya.

Yang membedakan antara karantina Vito dan yang kita alami hari ini adalah kepastian durasi. Ia tahu persis masa karantinanya sebatas tiga bulan, memang tidak singkat, tapi dengan mengetahui setidaknya bisa menandai kapan karantinanya akan usai. Di satu sisi itu jauh lebih baik dibanding tidak mengetahui sama sekali seperti yang kita alami sekarang dalam menghadapi Covid-19. Bisa kurang dari tiga bulan, bahkan bisa jauh lebih lama seperti yang dikhawatirkan semua orang.

Pada lain sisi, ketidak pastian ini, bila ditopang dengan manajemen yang cakap, sangat berpotensi bagi setiap orang untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Toh, sebagai bonus, fakta sudah berbicara bahwasannya salah satu dampak positif karantina massal adalah liburnya polusi sebagai pembunuh paling ganas abad ini.

“Tiada kenyamanan hakiki seperti layaknya berdiam di rumah.” Begitu tulis Jane Austen dua abad silam.

Saat terisolasi, siapapun akan menjadi lebih labil, baperan, mudah kesal dan gampang marah, karena berlama-lama berdiam di satu tempat akan lekas jenuh dan membosankan. Hal itu terjadi lantaran melawan kodrat manusia sebagai makhluk konvoi yang doyan rame-rame keluyuran. Kamus ilmiah menyebutnya homo socium dan homo festivus.

Dalam nuansa psikologis seperti itu tidak aneh bila menjadikan banyak orang lebih egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Banyak terjadi penimbunan logistik adalah salah satu contoh, acuh tak acuh terhadap saran pihak yang berwenang adalah contoh yang lain. Rupanya social distancing tidak sekadar menuntut orang lebih berlaku kreatif, ia memaksa manusia untuk semakin berempati dan bersimpati terhadap nasib sekitarnya.

Baca juga  Akhirnya Jebol Juga, Jokowi: 2 WNI Terinfeksi Virus Corona

Di situlah puasa menjalankan fungsi terluhurnya, yakni tidak hanya mengendalikan diri, namun sampai tahap menganggap diri itu tiada. Melebur secara total dengan liyan. Dengan demikian tiada lagi yang namanya kepentingan pribadi, yang tampak hanya kemaslahatan bersama.

Dalam opini berjudul Denyut Ramadhan di Tengah Pola Baru Kehidupan Manusia, harian Metropolitan (27/4/2020), Faisal Wibowo menulis bahwa disadari atau tidak, pandemi Covid-19 ini telah merubah cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi kita terhadap orang lain. Perlahan tapi pasti, pandemi ini telah melahirkan new pattern, alias pola baru kehidupan manusia.

Pola baru yang dimaksud, dalam gambaran saya bukan sekadar WFH, kemana-mana bermasker, lebih rajin mencuci tangan, mengganti cium pipi dengan cium jauh, serta sederet kegiatan-kegiatan kecil lain yang baru-baru ini menjadi bagian dari habituasi kita. Tentu pola baru berupa kebiasaan-kebiasaan seperti itu bernilai baik, dan sangat diperlukan dalam situasi saat ini.

Pola baru dalam skala yang lebih besar, disadari ataupun tidak, telah dan akan terus menampakkan wujudnya. Misalnya penurunan polusi udara secara drastis; meningkatnya perhatian akademisi terhadap penelitian virologi dan pengelolaan laboratorium; pengembangan sistem operasional bagi semua instansi dan institusi; berikut warna-warni baru dalam perubahan sosial berskala besar terkait Covid-19. Kita berharap dampak negatif warna-warni tersebut lebih kecil dibanding sisi positifnya.

Lagi-lagi perlu ditekankan, setiap orang musti menemukan falsafah pembatasan sosialnya masing-masing, terutama keharusan lebih mengenal diri sendiri dibanding sebelum-sebelumnya. Darinya diharapkan kita dapat lebih peka dan prihatin terhadap kondisi sosial beserta ragam hayati yang mewarnai lingkungan kita. Bila tidak, maka cepat atau lambat pandemi-pandemi lain akan menyerang secara bergiliran.

Baca juga  Gagasan Data Desa Presisi Menjadi Landasan Pembangunan Grand Design Prodeskel dan Epdeskel Kemendagri

Bagaimanapun caranya, tanpa menyalahkan pihak sana dan menuduh pihak sini, kita harus sampai pada kesadaran utuh bahwa old pattern tentang bagaimana selama ini kita memperlakukan alam lingkungan telah mengundang datangnya virus-virus mematikan dan sejumlah katastrofe lain.

Adapun kesadaran utuh terhadap new pattern kali ini mau-tidak-mau di antaranya harus lebih mengerti mana yang mesti diprioritaskan dan lebih digencarkan oleh instansi pemerintahan, organisasi-organisasi, majelis-majelis taklim, institusi, maupun oleh pribadi masing-masing.

Sudah cukup seriuskah old pattern kita dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat serta keseimbangan ekosistem?

Bagaimanapun modelnya, berapapun modalnya, new pattern tidak akan bermakna apa-apa bila tidak mampu menjawab dan menemukan solusi bagi permasalahan-permasalahan seputar pertanyaan sederhana di atas.

Untuk dapat melempar lebih jauh, seseorang butuh mundur selangkah atau dua langkah. Dalam situasi saat ini, mundur tersebut berbentuk pembatasan sosial, work and stay at home, maupun self quarantine. Akibatnya ekonomi melemah, produktifitas menurun, dinamika sosial terbatas, dan lain sebagainya. Namun darinya kita berharap dapat melempar batu lebih jauh dari yang kita perkirakan.

Batu tersebut adalah pola kehidupan berbentuk lingkungan yang sehat, alam yang asri, masyarakat gotong royong, ekonomi yang adil dan beradab, juga politik yang jujur.

Sembari merumuskan new pattern dalam tatanan yang lebih efektif, sejenak kita simak petuah paling populer Vito Corleone di usia senjanya: “A man who doesn’t spend time with his family can’t never be a real man.”

Jangan keluyuran dulu, jadilah manusia sejati dengan bercengkerama bersama keluarga selama karantina, akan tiba saatnya ide segar dan pola hidup baru Anda turut menghembuskan angin perubahan demi siklus kehidupan yang lebih ideal.[]

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top