Asal Mula Munculnya Nama Panaragan, ‘Panah-panah Berjatuhan’
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Panaragan merupakan nama kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.
Nama Panaragan sejak lama sudah kita kenal dan menyatu dengan hati kita, apalagi bagi orang Bogor “pituin” (asli asalnya).
Dapat diungkapkan di sini bahwa nama tokoh pahlawan Kapten Muslihat yang kini namanya diabadikan pada sebuah nama jalan raya, adalah putra Panaragan Bogor.
Nama daerah Panaragan tidak bisa lepas dari ingatan kita, terutama para sesepuh Bogor dulu yang mengatakan bahwa Panaragan asalnya dari “panah ragragan” artinya banyak “panah-panah berjatuhan”.
Yang menjadi pertanyaan kita kapan dan bagaimana bisa terjadi demikian, mengapa anak panah berjatuhan di situ.
Menurut sahibul hikayat cerita dari orang Bogor, hal ini memang terjadi ketika ratusan anak panah melejit dilepaskan dari busurnya oleh laskar Banten ketika memperebutkan daerah teritoral dengan laskar Pajajaran pada tahun 1579. Kejadian peperangan itu memang tercatat dalam sejarah.
Itulah sebuah versi yang kita terima dari tetua kita di Bogor secara turun temurun. Cerita ini begitu melekat di hati masyarakat hingga sekarang. Kita akui banyak nama daerah atau tempat di Jawa Barat yang diambil dari kejadian dan diangkat secara “kirata” (dikira-kira nyata) maksudnya untuk mempermudah dalam memberi nama suatu daerah tertentu sehingga terabadikan sampai sekarang.
Di samping itu ada juga nama daerah/tempat yang diambil dari keadaan alam yang ada di seputar tempat itu. Dalam hal ini kita harus akui juga bahwa, barangkali memang begitu budaya masyarakat ketika itu dalam menetapkan sebuah nama daerah, tanpa melalui rapat.
Versi lain tentang nama daerah “Panaragan” adalah versi yang rupanya bisa kita terima keabsahannya, apabila kita kaji dari sudut bahasa Sunda.
Seperti kita ketahui bahwa bahasa Sunda adalah bahasa yang banyak memiliki kosa kata serta morfologi yang sulit kita ketahui artinya, di samping sangat kaya juga penuh arti yang menarik seperti halnya panaragan yang kita bincangkan ini.
Dalam bahasa Sunda yang disebut “ngarag berarti” membersihkan buah dari kotoran lalu dijemur di halaman menggunakan “pangaragan adalah” awi pangaragan” (bambu pangaragan-Ind.) berupa bambu lonjoran panjang dipasang sebaris memanjang, diikat pada bambu yang ditancapkan panah, ataupun ditanam secara silang ataupun tidak. Gunanya untuk menjemur hasil bumi seperti cengkeh, kopi, pedes, kacang-kacangan, serta jagung untuk bibit. Semua hasil bumi tersebut ditaruh di atas ―tampir‖ atau ―nyiru‖ besar kemudian diletakan pada “bambu pangaragan” tersebut untuk dijemur.
Kita sama mengetahui bahwa Bogor adalah daerah agraris yang subur karena curah hujan yang banyak. Hasil bumi banyak melimpah ruah menarik para pedagang rempah di Eropa. Syitem Kulturstelsel (tanam paksa) tahun 1830 yang keuntungannnya untuk penjajah ketika itu pernah berkembang di sini. Semua hasil bumi itu di samping untuk kepentingan penjajah, sebagian juga untuk mendanai kemelut perang Belanda dengan Perancis ketika itu. Tempat untuk menjemur seluruh hasil dengan cara menjemur yaitu daerah Panaragan yang kita kenal sekarang secara morfologis kata tersebut seharusnya diucapkan Pangaragan. Namun lama kelamaan bunyi ―ng‖ hilang dan masyarakat sekitar menjadi lebih kental dengan menyebutnya Panaragan. Tentu pada zaman itu daerah Pangaragan masih merupakan lapangan luas, jauh berbeda dengan sekarang keadaannya.
Mengakhiri bincang kita tentang Panaragan, kita sangat mengagumi bahasa daerah Sunda sayangnya oleh sebagian besar Ibu/Bapak yang berdarah Sunda sudah dikesampingkan.
Mereka lebih senang bicara bahasa Indonesia dengan putra-putrinya yang masih kecil tanpa mengajarkan Sunda kepada anak kandungnya. Hal ini harus kita akui kebenarannya, mereka mengakui bahwa bahasa sunda yang dikuasainya kasar.
Padahal bahasa sunda wewengkon Bogor memang kasar, sebab bahasa Bogor adalah bahasa asli yang digunakan raja dan masyarakatnya. Karena tatar Bogor/Pajajaran tidak pernah dipengaruhi Mataram, tidak ada undak-usuk untuk menak kepada cacah, tidak terdapat perbedaan. Tetapi memiliki toleransi dan cerminan rasa kedekatan jiwa yang mendalam. Menggunakan bahasa indung sangat penting dalam membina budaya sendiri dan bila kita teliti, kita telah banyak kehilangan bahasa Sunda milik kita sendiri. Dalam jangka waktu puluhan tahun yang lampau, karena salah mendengar dan salah ucap menjadi salah kaprah pengertian bahasa sunda kita yang kita terima sekarang.
[] Hari/ Disadur dari buku berjudul “Toponimi Bogor” karya budayawan Eman Soelaeman, atas seizin editor Dr Abdurrahman MBP.M.E.I.