2/3 Tanah Indonesia Tidak Tunduk pada UUPA
BOGOR-KITA.com, BOGOR – Prof Sudarsono Soedomo mengatakan bahwa pembangunan pertanian tanpa didahului oleh penataan agraria akan menghasilkan wajah pertanian yang sejadinya. Namun, hingga hari ini, Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA), belum dapat dijalankan sepenuhnya. Bahkan 2/3 tanah Indonesia tidak tunduk pada UUPA.
Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University ini dalam Konferensi Pers Pra Orasi Kamis (16/9/2021). “Terbitnya UU 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (UUPK) menjadi cikal bakal adanya negara dalam negara. Ringkasnya, ada dualisme kelembagaan dalam ekonomi politik pertanahan Indonesia. Dan dampaknya luar biasa hingga hari ini hingga beberapa dekade yang akan datang,” ujar dosen IPB University dari Departemen Manajemen Hutan ini.
Salah satu dampak paling dahsyat, menurutnya adalah alokasi tanah di Indonesia yang sangat timpang. Yakni 64 persen tanah Indonesia dikuasai dan dipergunakan secara eksklusif oleh sektor kehutanan dan sisanya 36 persen dipergunakan untuk berbagai keperluan.
“Alokasi untuk hutan produksi mencapai 68 juta hektar, sementara sebagai perbandingan, luas sawah beririgasi sebagai penghasil makanan pokok hanya 7 juta hektar. Selanjutnya, banyak dari hutan produksi dalam keadaan tidak berhutan. Celakanya, kemampuan menghutankan kembali tidak ada tetapi sektor lain tidak dapat menggunakannya,” ujarnya.
Menurutnya, penguasaan tanah yang begitu dominan, sayangnya, tidak diimbangi dengan kinerja yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kurang dari 1 persen. Terjadi inefisiensi pendayagunaan tanah yang sangat luar biasa.
“Situasi ini tentu saja harus segera dihentikan agar dampaknya tidak semakin luas dan semakin sulit diatasi. Terutama menyakut ketahanan pangan nasional. Kelima, mengapa problem di atas dapat terjadi? Penyebabnya adalah ilusi kelimpahan dan keberlanjutan,” imbuhnya.
Dalam paparannya, Prof Sudarsono menceritakan bahwa pada periode akhir Orde Lama hingga awal Orde Baru, ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Pemerintah perlu dana tunai yang cepat dan segera mendorong investasi.
“Ketika itu, kecuali Pulau Jawa, sebagian besar permukaan tanah semua pulau masih ditutupi oleh hutan alam primer. Kayu dalam hutan sangat berlimpah. Investasi penambangan kayu meningkat pesat dan negara memperoleh uang tunai dengan cepat. Hutan alam menjadi mesin uang ketika itu,” katanya.
Dengan ilusi hutan alam yang melimpah, lanjutnya, dan menjadi mesin uang yang melimpah secara berkelanjutan maka banyak areal diklaim sebagai “kawasan hutan”. Setiap upaya memperbaiki alokasi tanah demi pembangunan agar lebih efisien selalu menghadapi resistensi yang luar biasa dari kehutanan.
“Inilah penyakit kehutanan. Akibatnya, hutan alam yang dahulu melimpah menjadi sebuah kutukan. Banyak pemukiman dan tanah rakyat yang terperangkap di dalamnya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Prof Sudarsono memberikan jalan keluar dari kemelut agraria ini. Pertama, pemanfaatan lahan harus menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat (sesuai Pasal 33 UUD 1945). Kedua, menyusun tataruang dengan melibatkan semua sektor sebagai keputusan politik negara untuk memilah tanah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
“Ketiga, mengkontestasikan penggunaan tanah pada kawasan budidaya yang memberi kebebasan kepada penggunanya untuk menentukan usahanya. Ke empat, menempatkan urusan tanah pada lembaga non-sektor atau non-teknis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbatas hanya mengurus hutan saja. Kelima, reforma agraria perlu diperluas ke reforma industri pertanian primer agar ada sumber pendapatan baru bagi petani,” tandasnya. [] Hari